Rabu, 14 April 2010

Kota Langsa,,, Apa Kabarnya??

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negara negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan (humanity). Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial yang ada di setiap negara. Secara konstitusional, permasalahan dimaksud telah dijadikan perhatian utama bangsa Indonesia sejak tersusunnya Undang-Undang Dasar 1945.
Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif banyak. Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunan yang sudah dilakukan, angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.
Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ni tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan. Menurut catatan Halwani (1999), sebagian besar (98,2%) adalah unit usaha kecil dan industri rumah tangga dengan tenaga kerja sebanyak 3.484.408 orang (63,3%). Industri yang tergolong dalam usaha berskala besar dan sedang (0,8%) dengan tenaga yang terserap sebanyak 1.691.435. (32,7%). Namun jika hasil nilai tambah dari dua jenis kegiatan tersebut diperbandingkan, maka hasil yang diperoleh dari sektor industri kecil masih jauh dari yang harapan yakni sebesar 17,8% (Rp.2,03 trilyun), sedangkan industri berskala besar (0,8%) telah memberikan nilai tambah Rp.9,35 trilyun (82,2%).
B. Gambaran Umum
Kota Langsa dibentuk dengan undang-undang No. 3 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001 dan peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2001 oleh Mentri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia, yang pada undang-undang tersebut Wilayah Kota Langsa terbagi dalam 3 (tiga) kecamatan, yaitu Langsa Timur, Langsa Barat dan Langsa Kota. Kemudian ditengah perjalanan keluarlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Derah yang menyebutkan bahwa syarat fisik untuk pembentukan wilayah kota langsa harus memiliki sedikitnya 4 (empat) Kecamatan, maka dari itu pemerintah kota langsa memerlukan wilayah kecamatan menjadi 5 (lima) kecamatan, yaitu kecamatan Langsa Kota, langsa barat, langsa timur, langsa baro dan langsa lama.
Berdasarkan laporan dari Dinas Tenaga Kerja, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kota Langsa, jumlah penduduk kota langsa pada tahun 2008 tercatat sebesar 173.899 jiwa, dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 88.429 jiwa, penduduk wanita sebanyak 85.470 jiwa, penduduk yang terbanyak berdomisili di kecamatan langsa baro dengan jumlah 47.091 jiwa, kemudian disusul dengan kecamatan langsa kota sebesar 44.562 jiwa, kecamatan langsa barat sebesar 37.313 jiwa, kecamatan langsa timur 14.319 jiwa.
Dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000), pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin.
C. Tujuan
Tujuannya adalah ingin mengetahui Bagaimana Proses Gambaran Kemiskinan Kota Langsa
D. Konsep
Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.
Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Dari ketiga sudut pandang tersebut, penulis membatasi diri dan lebih menekankan pada kemiskinan absolut, karena pemahaman dari bentuk kemiskinan ini relatif lebih mengena dalam konteks fakir miskin. Menurut Ginanjar (1997), kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan. Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan :

“Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”.

Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian. Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus mampu mengakomodasikan kedua aspek tersebut. Menurut Koenraad Verhagen, (1996), melebih-lebihkan kemiskinan kita cenderung melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang “tidak memiliki” (havenot). Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-little) di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial. Berkaitan dengan pandangan ini, Gunawan Sumodiningrat (1977) mengemukakan, bahwa strategi untuk memberdayakan masyarakat terdapat tiga hal yang harus dilakukan yaitu: (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering); dan (3) Pemberian perlindungan, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi lebih lemah.
Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam konteks penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan dalam golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (GMBR). Mereka adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2008 dan Perkiraan Tahun 2009
A.Potensi Unggulan Daerah
Meskipun Kota Langsa tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) seperti, pantai, gunung dan sebagainya ,tetapi banyak menyimpan potensi unggulan. Beberapa potensi yang ada di Kota Langsa untuk saat ini antara lain berupa produk pengolahan makanan seperti Terasi, Ikan asin, Kerupuk ubi dan lain – lain. Khususnya ikan asin pada tahun 2008 angka produksinya mencapai sebesar 620 ton dan untuk komonditi terasi jumlah produksinya mencapai sebesar 175 ton. Dari Sektor kelautan dan perikanan ,Produksi ikan Kota Langsa mencapai sebesar 45.000 ton ,udang mencapai sebesar 770 ton dan kepiting mencapai sebesar 9,225 ton. Lebih lanjut, dari Sektor perkebunan dengan status kepemilikan rakyat,Produksi kelapa sawit di Kota Langsa mencapai sebesar 1.474 ton, produksi kakao sebesar 134 ton,Produksi karet sebesar 720 ton, dan Produksi kelapa sebesar 344 ton .

B.Pertumbuhan Ekonomi / PDRB
Berdasarkan harga konstan 2000, selama kurun waktu Tahun 2002 – 2008 pertumbuhan ekonomi kota langsa dari tahun ketahun semangkin meningkat.Seluruh Sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang positif dengan level yang berbeda – beda . Tahun 2008, laju pertumbuhan perekonomian Kota langsa diperkirakan sebesar 4,28 persen, mengalami peningkata sebesar 0,36 persen terhadap angka pertumbuhan Tahun 2007 yaitu sebesar 3,92 persen.
Pertumbuhan Ekonomi Kota langsa ditinjau dari PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 memperlihatkan trend meningkat. Tahun 2002 dan 2003 pertumbuhan ekonomi daerah kota langsa masing –masing mencapai 2,85 persen dan 3,69 persen. Pada tahun 2004 tumbuh lebih tinggi lagi yaitu mencapai 4,17 persen. Perekonomian kota langsa pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi 3,92 persen dan pada tahun 2006 Perekonomian kota langsa mengalami penurunan kembali menjadi 3,66 persen.Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi kota langsa sedikit mengalami peningkatan yaitu 3,92 persen atau sama dengan angka pertumbuhan tahun 2005,Namun pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Kota Langsa mengalami peningkatan kembali sehingga menjadi 4,28 persen.
Sektor yang diperkirakan mengalami pertumbuhan tertinggi pada tahun 2008 adalah yang diberikan oleh sektor Hotel dan Restoran yaitu sebesar 6,63 persen ,Walaupun pertumbuhannya tinggi namun belum mampu mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi Kota Langsa secara keseluruhan,hal ini menunjukkan bahwa kontribusi yang tinggi dari suatu sektor belum tentu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara total walaupun pertumbuhanya relatif tinggi.
Sektor pertambangan dan penggalian menempati posisi kedua dengan pertumbuhan tercatat sebesar 6,54 persen ,Kemudian disusul oleh Sektor listrik dan Air minum yang tumbuh sebesar 4,80 persen.
Selanjutnya berturut – turut diikuti oleh sektor Industri dan pengolahan yaitu sebesar 4,75 persen, Sektor pembangngunan dan Kontruksi yang mencapai 4,41 persen,Sektor keuangan ,Persewaan dan jasa perusahaan sebesar 3,81 persen,Sektor jasa- jasa sebesar 2,43 persen,Sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 2,28 persen dan terahir Sektor Pertanian sebesar 1,97 persen.
C.Tingkat Inflasi
Tingkat inflasi kota langsa tahun 2007 mencapai sebesar 5,16% kemudian pada tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu sebesar 6,71% dan diperkirakan pada tahun 2009 tingkat inflasi kota langsa diharapkan dapat ditekan menjadi sebesar 6,31%, serta pada tahun 2010 dipredisikan 5,92%.
D.Penduduk Miskin
Penduduk miskin Kota langsa pada tahun 2007 mencapai sebesar 14,25% terhadap jumlah penduduk kota langsa, pada tahun 2008 menjadi sebesar 14,12%.
E.Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran penduduk kota langsa pada tahun 2007 mencapai sebesar 12,12% terhadap jumlah penduduk kota langsa, pada tahun 2008 menjadi sebesar 12,25%.


2.2. Evaluasi Pencapaian Kinerja Indikator Makro Pembangunan Daerah
Dengan membandingkan pertumbuhan PDRB Atas Harga berlaku Kota Langsa pada tahun 2007 yang mencapai sebesar 9,29 persen dengan nilai sebesar 1.201.565,16 ( dalam jutaan rupiah) ,sedangkan pada tahun 2008 PDRB Kota langsa mengalami kenaikan sebesar 11,33 persen atau senilai 1.337.696,86 ( dalam jutaan rupiah ) yang dipengaruhi dengan peningkatannya unit – unit usaha dikota langsa . Adapun pertumbuhan PDRB atas harga konstan kota langsa pada tahun 2007 sebesar 3,93% atau senilai 772.007,71 (dalam jutaan rupiah ) dan terjadi peningkatan pada tahun 2008 yakni 4,33% dengan nilai sebesar 805.467,51 ( dalam jutaan rupiah)
Ditinjau dari Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Perkapita terjadi kontradiksi dimana pada tahun 2007 PDRB Perkapita sebesar Rp. 8.582.302.00 sedangkan kondisi pada tahun 2008 senilai Rp. 7.692.377,00. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan penduduk Kota Langsa terjadi peningkatan yang sangat signifikan yaitu 24,21 % dari jumlah penduduk Kota langsa pada tahun 2007 berjumlah 140.005 jiwa menjadi 173.899 jiwa pada tahun 2008 .
Secara persentase jumlah penduduk pemerintah kota langsa yang berada dibawah kemiskinan terjadi penurunan yaitu 14,25% pada tahun 2007 sedangkan pada tahun 2008 sebesar 14,12%. Hal ini menggambarkan salah satu indikasi keberhasilan pemerintah kota langsa dalam melaksanakan pembangunan yang ditandai dengan meningkatnya kesejahteraan mayarakat kota langsa.

BAB III
KESIMPULAN

Dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000), pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statisti, 2008. Badan Perencanaan Pembangunan Kota Langsa.
Badan Pusat Statistik, 1999. Penduduk Muskin (PoorPopulation). Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin No.04/Th.II/July, Jakarta:CBS.
Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial, 2002, Penduduk Fakir Miskin Indonesia, BPS, Jakarta Indonesia
Halwani, R.H., 1998. Paradigma Baru: Dapatkah Ekonomi Rakyat Memainkan Peran Sentral. Dalam Sintesis, Jurnal dua Bulanan Center For Inormation and Development Studies (CIDES) No.26 tahun ke 5 Jakarta.
Mujiyadi. B. dan Gunawan (2000), Pemberdayaan Masyarakat miskin (Suatu Kajian terhadap Masyarakatdi Sekitar Kawasan Industri) dalam Informasi Vol .5 No. 1 Januari 2000. Balitbang Depsos RI. Jakarta.
Nasikun, 1995, Kemiskinan di Indonesia Menurun, dalam Perangkap Kemiskinan, Problem, dan Strategi Pengentasannya, (Bagong Suyanto, ed), Airlangga Univercity Press.
Poerwadarminta, WJS, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar