Rabu, 14 April 2010

kewarganegaraan

PENDAHULUAN
Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan masalah hukum dan politik, hal ini terkristalisasi dalam diri setiap manusia.
Substansi dan nilai-nilai HAM memiliki akar yang dalam, dan terkait dengan dan mendasari pergerakan kemerdekaan, serta dalam dialektika perjuangan bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan sekarang ini.
Hak Asasi manusia (HAM) merupakan suatu hak yang nyata menyatu dan dapat diperjuangkan, yaitu hak-hak alamiah setiap manusia. Dengan adanya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) maka nilai-nilai kemanusiaan dapat terlihat dan dihormati oleh setiap manu

PEMBAHASAN

A.latar Kesejarahan
Gencarnya kampanye promosi HAM di berbagai belahan dunia dan di tanah air lebih dari dua dasawarsa terakhir memberi kesan kepada masyarakat bahwa seolah-olah masalah HAM merupakan pemikiran asing, yang sepenuhnya barat, yang kemudian “dipaksakan” supaya diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena dua hal pokok. Pertama kekuasaan Negara selama lebih dari empat puluh tahun berhasil mengeleminir pemikiran tentang HAM yang melekat dalam sejarah perjuangan bangsa di satu sisi, dan kedua pada sisi yang lain karena kealpaan kalangan akademisi dan cendekiawan untuk menggali serta penelusuri persoalan HAM dalam khazanah pemikiran bangsa sendiri.
Seperti diketahui, pemikiran anti HAM dalam perdebatan dan perumusan UUD 1945 di BPUPKI memang lebih dominant. Akan tetapi berkat kegigihan Mohamad Hatta dan Yamin, beberapa pasal tentang HAM seperti jaminan atas kebebasan beragama dan kebebasan berserikat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan lain sebagainya, bias masuk di dalam konstitusi tersebut,
kalau ditelusuri lebih mendalam substansi nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari selurih gerak perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan Deklarasi Universal HAM ( Universal Declaration of Human Rights ) tahun 1948, primus interpares hak-hak asasi manusia adalah dignity of man, kemuliaan manusia. Padanan kata Inggris “dignity” didalam bahasa Indonesia adalah derajat atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau kita perhatikan seluruh konvensi dan atau konvenan internasional berikut protokolnya tampak bahwa kerangka (melindungi, menghormati atau meninggikan) martabat manusia.
Dicapainya Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dapat dipandang sebagai puncak dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa tersebut. Para pendiri bangsa itu sendiri, menandai peristiwa monumental itu sebagai “pintu gerbang” bagi proses pemerdekaan bangsa Indonesia. Mengacu kepada pikiran Bung Karno, proses pemerdekaan ini mencakup kedalam maupun keluar. Pemerdekaan kedalam mengandung arti sebagai proses pemerdekaan rakyat Indonesia dalam rangka sederajat dengan manusia-manusia dari bangsa lain. Pemerdekaan keluar berarti proses peningkatan harga diri bangsa Indonesia dalam pergaulan Internasional melalui berbagai upaya diplomatik, sehingga diterima sebagai bangsa bermartabat dan masuk dalam jajaran bangsa-bangsa beradab didunia.
Berdasarkan telusuran histories seperti itu, saya sampai pada kesimpulan bahwa komitmen terhadap apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia itu merupakan benang merah yang menjadi serat dari keseluruhan perjuangan bangsa untuk memerdekakan manusia Indonesia pada zaman penjajahan, dari status budak atau koeli yang dijajah menjadi manusia Indonesia yang bebas merdeka sedangkan pada pasca terbentuknya Negara Indonesia, berwujud pemerdekaan dari belenggu kekuasaan bangsa sendiri yang otoriter dan dari berbagai keterbelakangan yang merendahkan martabat manusia Indonesia. Semuanya itu ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Tujuan mengangkat harkat dan martabat setiap manusia Indonesia inilah yang saya maksudkan sebagai perspektif perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dengan sendirinya harus dipahami sebagai komitmen Nasional. Apapun dan siapapun aktifis Hak Asasi Manusia yang berjuang di Negara ini baik dalam bentuk perorangan, kelompok, golongan, lembaga swadaya masyarakat, ataupun ORNOP, partai-partai bahkan seluruh aparat kekuasaan termasuk polisi dan tentara (militer) dan lain sebagainya harus memahami bahwa perjuangan HAM yang mereka lakukan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia agar menjadi anak bangsa yang terhormat dan bermartabat.

B.HAM untuk Mencegah Absolutisme Kekuasaan Negara
Berdasarkan pemahaman tentang akar HAM, dalam sejarah perjuangan bangsa itu, menurut hemat saya, persoalan penegakan HAM haruslah dilihat dari cita-cita bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Sejarah menunjukan bahwa penyalahgunaan Kekuasaan Negara (abuse of power) merupakan ancaman paling efektif terhadap hak-hak asasi yang merendahkan martabat manusia sebagaimana dibuktikan selama 40 tahun terakhir. Terutama kecendrungan penguasa untuk membangun kekuasaan yang absolute. Cita-cita bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia tersebut dapat bahkan harus dijadikan alat ukur untuk menakar rejim-rejim yang pernah berkuasa setelah Indonesia merdeka. Adanya perlakuan sewenang-wenang terhadap hak-hak asasi manusia oleh penguasa dalam 40 tahun terakhir, baik apa dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru, sudah menyimpang dari cita-cita bangsa untuk mengangkat martabat manusia Indonesia.


Jaminan konstitusional atas hak-hak asasi manusia memberikan dasar yang kokoh bagi rakyat pemilik kedaulatan, yang nota bene memiliki dasar historis untuk ikut menentukan corak kekuasaan Negara. Dimasukkannya hak-hak asasi manusia kedalam UUD 1945, melalui amandemen dalam beberapa tahun terakhir ini, dapat dicatat sebagai langkah awal dalam menjabarkan cita-cita bangsa ini untuk menghormati dan meningkatkan harkat dan martabatnya, sekaligus meletakkan rambu-rambu untuk mencegah lahirnya kembali penguasa Negara yang otoriter.

C.Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM
Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Tercatat mulai dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, kemudian amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU No. 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah dilakukannya amandemen dengan sendirinya UUD 1945 sebernarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, merupakan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM. Semua ini melengkapi sejumlah konvenan PBB tentang HAM seperti tentang hak-hak perempuan, hak anak atau konvenan tantang arti diskrimnasi serta konvenan tentang tindakan kekejaman yang sudah diratifikasi.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Saya mencatat, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adanya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normative berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.

Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum. Dengan demikian pula apa yang saya katakan di atas “perjuangan harus dipahami sebagai komitmen nasional” memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah, terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM.
Kalau demikia halnya, kemudian muncul agenda besar.
Pertama, menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindungan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/konvenan internasional tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan Komnas HAM dan peradilan HAM.
Kedua, melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukun, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk UU yang dihasilkan dalam lima tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti-HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/konvenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti konvenan sipil-politik dan konvenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini merupakan agenda raksasa. Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yamg memiliki perhatian yang sama seperti kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
Ketika, mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Dalam kesempatan ini, saya tidak ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita. Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
Keempat, penting juga diagendakan adalah sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintah, utamanya di kalangan instansi yang secara langsung maupun tidal langsung berkaitan dengan masalah HAM. Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekerjaan raksasa, dan sangat terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan berurusan dengan masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan rambu-rambu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.
Kelima, tentu saja kerjasama dengan kalangan di luar pemerintah, terutama kalangan Ornop/LSM, akademi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu.

C.Pengadilan HAM Ad Hoc
Pelanggaran HAM berat atau gros violation of human rights merupakan kejahatn luar biasa (eztra-ordinary crimes) yang membedakannya dengan kejahatan biasa (ordinary crimes). Termasuk dalam pelanggaran HAM berat adalah genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi sebagaimana tercantum dalam Statuta ICC 1998 yang telah berlaku efektif tahun 2002. keluarbiasaan pelanggaran HAM berat terletak pada sifat perbuatannya (kualitatif), korban, dan dampaknya terhadap kemanusiaan (kuantitatif).
Karakter khusus pelanggaran HAM berat adalah keterlibatan dan peranan aparatur Negara sebagai alat kekuasaan dalam kasus pelanggaran HAM berat sangat dominant dibandingkan dengan kejahatan biasa. Berangkat dari karakteristik tersebut, pelanggaran HAM berat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan politik Negara dalam mengatur hak asasi setiap warga negaranya.
Pembentukan Pengadilan HAM dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 memang ditujukan untuk kasus pelanggaran HAM berat setelah diundangkannya UU ini (prospektif), tidak untuk tujuan pemberlakuan retroaktif. Namun, sejalan dengan euphoria reformasi yang menuntut keterbukaan dan pertanggungjawaban pemerintah dalam berbagai kasus masa lampau, termasuk kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Timor Leste, untuk memenuhi aspirasi kepastian hukum dan keadilan terhadap kasus tersebut di masa lalu, dalam UU pengadilan HAM diatur juga tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Pola penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu bukan sesuatu yang diharamkan karena telah sejalan dengan kebiasaan dan praktik (hukum) internasional dalam kasus pelanggaran HAM berat seperti pembentukan Mahkamah Militer Ad Hoc untuk kasus penjahat perang (Nuremberg dan Tokyo), Ad Hoc Tribunal untuk kasus di bekas jajahan Yugoslavia, di Rwanda, dan Sierra Leone.
Hanya pola penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2000 berbeda dengan pola penyelesaian kasus yang sama di Negara lain di atas. Disadari oleh tim penyusun UU No. 26 Tahun 2000, ketika itu bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memerlukan solusi yang tepat dengan tidak menegasikan prinsip nonretroaktif secara telanjang serta dapat memenuhi aspirasi kepastian hukum dan keadilan masa lampau. Kesepakatan dalam pembahasan di DPR RI ketika itu adalah kasus pelanggaran masa lalu dapat diadili oleh Pengadilan HAM secara Ad Hoc, dalam arti hanya dibentuk untuk kasus-kasus tertentu saja dengan parameter tempus delicti dan locus delicti tertentu.
Mungkin korbannya atau saksi-saksi masih hidup, tetapi dokumen otentik atau bukti-bukti tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU Hukum Acara yang berlaku. Atas dasar pertimbangan tersebut, dimasukkan ketentuan mengenai penyelesaian melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Namun kemudian kita saksikan bahwa UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 berdasarkan Putusan MK RI dua tahun yang lalu. Uraian mengenai sekelumit kisah proses penyusunan UU Nomor 26 Tahun 2000 dengan ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di atas mungkin bermanfaat bagi MK RI yang tengah digelar untuk memeriksa hak uji materi terhadap ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar