Jumat, 31 Desember 2010

Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi

Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Seperti kata Charles Dickens, tis the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik dan sekaligus paling buruk). Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun sebaliknya, kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia.

Dinamika Globalisasi

Dalam beberapa tahun terakhir ini, topik globalisasi juga memasuki wacana akademis dan menjadi fokus diskusi dalam dunia pendidikan. Sebagian fenomena globalisasi juga mulai muncul dalam dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Tentu saja dinamika globalisasi mengandung berbagai implikasi bagi pendidikan dan nasionalisme baru Indonesia.
Salah satu gejala delokalisasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris secara resmi diajarkan dalam kurikulum mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama. Namun banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas 1 SD. Bahkan, taman kanak-kanak dan kelompok bermain juga tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris.

Beberapa sekolah "unggulan" mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia. Ada beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional, semi internasional, atau nasional plus.

Jumlah anak Indonesia yang mengikuti program kurikulum dan evaluasi asing memang masih teramat sedikit. Mereka bisa disebut sebagai the privileged few yang mengejar keunggulan dalam era globalisasi dan persaingan bebas. Dalam dunia pendidikan, tarik ulur antara keunggulan dan pemerataan selalu menjadi isu sangat menarik untuk dikaji. Ketika ada banyak gedung sekolah ambruk dan ada anak yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah, segelintir anak sedang menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia.

Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan ada fenomena menarik yang berkembang akhir-akhir ini. Beberapa pemain dari kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elit. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.
Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi dan melanda dunia pendidikan. Di jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa di berbagai universitas terkemuka di Indonesia melakukan aksi menentang biaya tinggi pendidikan tinggi. Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.

Perdebatan antara anti -otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu. Kelompok yang menentang otonomi perguruan tinggi berpandangan negara harus bertanggung jawab atas pendidikan dan menanggung pembiayaan perguruan tinggi negeri. Mereka mengkhawatirkan privatisasi perguruan tinggi akan menutup akses bagi calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu dan fenomena komersialisasi ini justru akan menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neo-liberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Heru Nugroho dkk (2002) menyoroti kontroversi otonomi perguruan tinggi di UGM dan menganggap kebijakan tersebut telah mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.

Sementara itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini nampaknya akan terus dijalankan. Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidak-mampuan pemerintah membiayai pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri. Namun tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas, elitisme dalam pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pendidikan yang diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya secara lebih merata menjadi roboh.

Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antar sekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Atau kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh. Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin) Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi sekolah yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.

Kemana arah pendidikan Indonesia?
Menghentikan laju para privileged few dalam mengejar keunggulan melalui regulasi dari birokrasi bukan solusi yang tepat dan bijak. Jarum jam sudah tidak bisa diputar kembali dan arus globalisasi sudah tidak terbendung. Dua poin-keunggulan dan pemerataan pendidikan-harus diupayakan secara serius dan sistematis sampai kesenjangan dalam dunia pendidikan bisa makin diminimalkan dan pendidikan bisa menjadi jembatan bagi proses demokratisasi bangsa dan kebangkitan nasionalisme baru di Indonesia.

Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah yang beragam menurut latar belakang sosio ekonomi yang berbeda. Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Sampai saat ini, belum nampak adanya pembenahan yang signifikan dan terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan besar: Kemana arah pendidikan di Indonesia?

Pendidikan dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai dengan tujuan dan berada pada rel yang tepat.

Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia. Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan bukan hanya state building dan nation building melainkan juga capacity building. Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti UAN/UNAS. Dengan kebijakan otonomi daerah, setiap kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat namun bermutu tinggi. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

Buchori Mochtar. Pendidikan Antisipatoris. Kanisius, 2001.
Burbules, N. C. and Torres, C. A. (2000) Globalization and Education: Critical Perspectives, London: Routledge. The introduction available on the web: [i]http://faculty.ed.uiuc.edu/burbules/ncb/papers/global.html
Falk. Richard. On Human Governance: Toward a New Global Politics. The Pennsylvania State University Press, 1995.
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. New York: The Seabury Press, 1974.
Giddens, Anthony. (1990) The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press.
Kachru, B. (1983). Introduction: The other side of English. In Braj Kachru (Ed.), The other tongue: English across cultures. Oxford: Pergamon Press, pp. 1-12.
Lie, Anita. "Peran Bahasa Inggris dalam Pembentukan Identitas Sosiokultural dan Implikasinya bagi Desain dan Implentasi Kurikulum Bahasa Inggris." Makalah dipresentasikan dalam Kongres Linguistik Nasional yang diadakan oleh Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar, Juli 2002.
Lie, Anita. "Membedah Industri Pendidikan Tinggi." Kompas, 17 Juni 2004.
Lie, Anita. "Menuntut Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan." Kompas, 5 Juli 2004.
Mangunwijaya, Y.B., Pr. "Beberapa Gagasan tentang SD bagi 20 juta Anak dari Keluarga Kurang Mampu," Sumaji (ed), Pendidikan Sains yang Humanistis. Kanisius, 1998.
Nugroho, Heru (Ed.) McDonaldisasi Pendidikan Tinggi. Center for Critical Social Studies dan Penerbit Kanisius, 2002.
Rahardi, Kunjana. Jejak-Jejak Peradaban. Dioma, 2003.
Sen, Amartya. (2002) 'How to judge globalization', The American Prospect Online, http://www.prospect.org/print/V13/1/sen-a.html
Sindhunata (ed), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita. Kanisius, 2000.
Sperling, Michael. "Globalization versus Global Education". Academic Convocation Address, October 3, 2001, at Fairleigh Dickinson University
Globalisation and Education. www.infed.org/features/globalization_feature.htm

Kamis, 16 Desember 2010

Kenapa harus belajar Bahasa Arab?

MARI BELAJAR BAHASA ARAB

Sebagaimana yang telah menjadi keyakinan dalam diri kita adalah bahwasanya jalan yang memberi kita jaminan keselamatan dan kenikmatan Islam adalah satu dan tidak berbilang-bilang yaitu mengilmui dan mengamalkan ajaran Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah dan dipahami oleh para sahabatnya. Dalam hadits riwayat Imam Muslim disebutkan, “Aku tinggalkan sesuatu bersama kalian, jika kamu berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku”.

Dan Allah SWT telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran karena bahasa Arab adalah bahasa terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.”(Yusuf : 2) .

Oleh karena itu tidak perlu diragukan lagi, memang sudah seharusnya bagi seorang muslim mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam ,dia dibawa turun oleh Ar ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”(Asy Syu’ara:192-195).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Alloh dan menegakkan syiar-syiar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim:162)

Beliau juga berkata, “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah di dalam ilmu ushul fiqh : apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib. Namun di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Umar bin Yazid, beliau berkata : Umar bin Khoththob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya) “…Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan i’rablah Al-Quran karena Al-Quran itu berbahasa Arab.” Dan pada riwayat lain, beliau (Umar bin Khattab) berkata, “Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian, dan belajarlah ilmu faraid (ilmu waris) karena sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian.”(Iqtidha Shiratil Ibrahim]Mustaqim:207)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama Islam dan bahasa Al-Quran, tidak akan dapat memahami Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap permasalahan agama. Marilah kita pelajari bahasa Arab…! ^_^

Arabic Language Learning is Fun!!

METODE CEPAT BELAJAR BAHASA ARAB


Berikut metode cepat untuk menguasai dan mempermudah belajar bahasa :

1. Hendaknya kita mengikhlaskan niat dalam belajar untuk menunaikan kewajiban kita kepada Allah dan membekali diri dengan ilmu agar bisa beramal saleh. Karena amal tidak akan diterima tanpa niat dan cara yang benar. Sementara niat dan cara yang benar tidak akan diperoleh kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Kitabul Ilmi di kitab sahih Bukhari yang berjudul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Dalilnya adalah firman Allah 9yang artinya), “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu…” (QS. Muhammad : 19). Selain itu hendaknya kita berdoa kepada Allah untuk diberikan ilmu yang bermanfaat.


2. Sebelum lebih jauh mempelajari kaidah bahasa Arab maka sudah semestinya kita mempelajari cara membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan hukum-hukum tajwid agar tidak salah dalam membaca atau mengucapkan. Padahal, salah baca atau salah ucap akan menimbulkan perbedaan makna bahkan memutarbalikkan fakta. Suatu kata yang seharusnya berkedudukan sebagai pelaku berubah menjadi objek dan seterusnya. Tentu saja hal ini –membaca dengan benar serta mengikuti kaidah-tidak bisa disepelekan.


3. Menambah kosakata merupakan salah satu sebab utama untuk melancarkan proses belajar kaidah dan membaca kitab. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membeli Kamus Bahasa Arab-Indonesia seperti Al-Munawwir, atau dengan membeli kamus kecil Al-Mufradat yang berisi kosakata yang sering digunakan dalam kitab-kitab para ulama. Selain itu bisa juga dengan membeli satu jenis buku dengan 2 versi; asli bahasa Arab dan terjemahan. Dengan memiliki kitab berbahasa Arab akan memacu pemiliknya untuk bisa membacanya. Sedangkan dengan terjemahannya akan membantu dalam proses belajar membaca kitab ketika menemukan kata-kata atau ungkapan yang susah dimengerti.

4. Hendaknya mencari guru yang benar-benar memahami materi kaidah bahasa Arab
dan bisa mengajarkannya. Untuk poin ini mungkin sangat bervariasi –tidak bisa diberi batasan yang kaku-, karena tingkat pemahaman orang terhadap kaidah bahasa arab juga bertingkat-tingkat. Hanya saja yang dimaksud di sini adalah perlunya memilih guru yang mengajarkan materi dengan dasar ilmu bukan dengan kebodohan.

5. Dibutuhkan kesabaran untuk terus mengikuti pelajaran dan mengulang-ulang pelajaran (muraja’ah) agar pemahaman yang dimiliki semakin kuat tertanam. Apabila menemukan hal-halyang belum dipahami hendaknya segera menanyakan kepada pengajar atau orang yang lebih tahu dalam hal itu. Az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam, barangsiapa yang ingin mendapatkan segudang ilmu secara tiba-tiba niscaya ilmu yang diperolehnya akan cepat hilang.”

6. Hendaknya bersungguh-sungguh dalam belajar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami pun akan memudahkan baginya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. Al-Ankabut : 69). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ta’ala mengaitkan antara hidayah dengan kesungguh-sungguhan/jihad. Maka orang yang paling besar hidayahnya adalah orang yang paling besar kesungguhan/jihadnya. Pepatah arab mengatakan, “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, niscaya dia akan mendapatkan.”

7. Untuk bisa mendukung pembelajaran bahasa Arab bagi pemula maka mengikuti kajian-kajian kitab berbahasa Arab merupakan salah satu sarana yang paling efektif untuk membiasakan diri dengan kata atau istilah bahasa Arab yang termaktub di kitab-kitab para ulama. Kitab-kitab yang sudah semestinya dikaji oleh pemula adalah kitab-kitab yang membahas perkara-perkara agama yang harus dipahaminya seperti kitab yang membahas dasar-dasar tauhid semacam Al-Qawa’id Al-Arba’, Tsalatsatu Ushul, dan Kitab Tauhid yang ketiga-tiganya merupakan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Apabila tidak bisa mengikuti secara langsung maka bisa diupayakan dengan mendengarkan CD kajiannya atau bahkan kalau ada yang berupa format VCD.


8. Membaca buku pelajaran kaidah bahasa Arab. Buku-buku pelajaran kaidah bahasa Arab dengan pengantar bahasa Indonesia yang bisa didapatkan misalnya; Ilmu Nahwu Praktis sistem belajar 40 jam karya A. Zakaria (untuk pemula) dan Ringkasan Kaidah-Kaidah Bahasa Arab karya Ustadz Aunur rafiq Ghufron, Lc. (untuk menengah). Atau bagi yang ingin mendengarkan audio pelajaran bahasa Arab bisa mendownload di internet dengan alamat http://badar.muslim.or.id
Semoga berhasil dengan cepat menguasai bahasa arab