Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Seperti kata Charles Dickens, tis the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik dan sekaligus paling buruk). Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun sebaliknya, kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia.
Dinamika Globalisasi
Dalam beberapa tahun terakhir ini, topik globalisasi juga memasuki wacana akademis dan menjadi fokus diskusi dalam dunia pendidikan. Sebagian fenomena globalisasi juga mulai muncul dalam dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Tentu saja dinamika globalisasi mengandung berbagai implikasi bagi pendidikan dan nasionalisme baru Indonesia.
Salah satu gejala delokalisasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris secara resmi diajarkan dalam kurikulum mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama. Namun banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas 1 SD. Bahkan, taman kanak-kanak dan kelompok bermain juga tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris.
Beberapa sekolah "unggulan" mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia. Ada beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional, semi internasional, atau nasional plus.
Jumlah anak Indonesia yang mengikuti program kurikulum dan evaluasi asing memang masih teramat sedikit. Mereka bisa disebut sebagai the privileged few yang mengejar keunggulan dalam era globalisasi dan persaingan bebas. Dalam dunia pendidikan, tarik ulur antara keunggulan dan pemerataan selalu menjadi isu sangat menarik untuk dikaji. Ketika ada banyak gedung sekolah ambruk dan ada anak yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah, segelintir anak sedang menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia.
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan ada fenomena menarik yang berkembang akhir-akhir ini. Beberapa pemain dari kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elit. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.
Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi dan melanda dunia pendidikan. Di jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa di berbagai universitas terkemuka di Indonesia melakukan aksi menentang biaya tinggi pendidikan tinggi. Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.
Perdebatan antara anti -otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu. Kelompok yang menentang otonomi perguruan tinggi berpandangan negara harus bertanggung jawab atas pendidikan dan menanggung pembiayaan perguruan tinggi negeri. Mereka mengkhawatirkan privatisasi perguruan tinggi akan menutup akses bagi calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu dan fenomena komersialisasi ini justru akan menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neo-liberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Heru Nugroho dkk (2002) menyoroti kontroversi otonomi perguruan tinggi di UGM dan menganggap kebijakan tersebut telah mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.
Sementara itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini nampaknya akan terus dijalankan. Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidak-mampuan pemerintah membiayai pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri. Namun tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas, elitisme dalam pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pendidikan yang diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya secara lebih merata menjadi roboh.
Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antar sekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Atau kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh. Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin) Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi sekolah yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.
Kemana arah pendidikan Indonesia?
Menghentikan laju para privileged few dalam mengejar keunggulan melalui regulasi dari birokrasi bukan solusi yang tepat dan bijak. Jarum jam sudah tidak bisa diputar kembali dan arus globalisasi sudah tidak terbendung. Dua poin-keunggulan dan pemerataan pendidikan-harus diupayakan secara serius dan sistematis sampai kesenjangan dalam dunia pendidikan bisa makin diminimalkan dan pendidikan bisa menjadi jembatan bagi proses demokratisasi bangsa dan kebangkitan nasionalisme baru di Indonesia.
Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah yang beragam menurut latar belakang sosio ekonomi yang berbeda. Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Sampai saat ini, belum nampak adanya pembenahan yang signifikan dan terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan besar: Kemana arah pendidikan di Indonesia?
Pendidikan dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai dengan tujuan dan berada pada rel yang tepat.
Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia. Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan bukan hanya state building dan nation building melainkan juga capacity building. Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti UAN/UNAS. Dengan kebijakan otonomi daerah, setiap kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat namun bermutu tinggi. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori Mochtar. Pendidikan Antisipatoris. Kanisius, 2001.
Burbules, N. C. and Torres, C. A. (2000) Globalization and Education: Critical Perspectives, London: Routledge. The introduction available on the web: [i]http://faculty.ed.uiuc.edu/burbules/ncb/papers/global.html
Falk. Richard. On Human Governance: Toward a New Global Politics. The Pennsylvania State University Press, 1995.
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. New York: The Seabury Press, 1974.
Giddens, Anthony. (1990) The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press.
Kachru, B. (1983). Introduction: The other side of English. In Braj Kachru (Ed.), The other tongue: English across cultures. Oxford: Pergamon Press, pp. 1-12.
Lie, Anita. "Peran Bahasa Inggris dalam Pembentukan Identitas Sosiokultural dan Implikasinya bagi Desain dan Implentasi Kurikulum Bahasa Inggris." Makalah dipresentasikan dalam Kongres Linguistik Nasional yang diadakan oleh Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar, Juli 2002.
Lie, Anita. "Membedah Industri Pendidikan Tinggi." Kompas, 17 Juni 2004.
Lie, Anita. "Menuntut Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan." Kompas, 5 Juli 2004.
Mangunwijaya, Y.B., Pr. "Beberapa Gagasan tentang SD bagi 20 juta Anak dari Keluarga Kurang Mampu," Sumaji (ed), Pendidikan Sains yang Humanistis. Kanisius, 1998.
Nugroho, Heru (Ed.) McDonaldisasi Pendidikan Tinggi. Center for Critical Social Studies dan Penerbit Kanisius, 2002.
Rahardi, Kunjana. Jejak-Jejak Peradaban. Dioma, 2003.
Sen, Amartya. (2002) 'How to judge globalization', The American Prospect Online, http://www.prospect.org/print/V13/1/sen-a.html
Sindhunata (ed), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita. Kanisius, 2000.
Sperling, Michael. "Globalization versus Global Education". Academic Convocation Address, October 3, 2001, at Fairleigh Dickinson University
Globalisation and Education. www.infed.org/features/globalization_feature.htm