Jumat, 31 Desember 2010

Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi

Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Seperti kata Charles Dickens, tis the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik dan sekaligus paling buruk). Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun sebaliknya, kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia.

Dinamika Globalisasi

Dalam beberapa tahun terakhir ini, topik globalisasi juga memasuki wacana akademis dan menjadi fokus diskusi dalam dunia pendidikan. Sebagian fenomena globalisasi juga mulai muncul dalam dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Tentu saja dinamika globalisasi mengandung berbagai implikasi bagi pendidikan dan nasionalisme baru Indonesia.
Salah satu gejala delokalisasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris secara resmi diajarkan dalam kurikulum mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama. Namun banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas 1 SD. Bahkan, taman kanak-kanak dan kelompok bermain juga tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris.

Beberapa sekolah "unggulan" mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia. Ada beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional, semi internasional, atau nasional plus.

Jumlah anak Indonesia yang mengikuti program kurikulum dan evaluasi asing memang masih teramat sedikit. Mereka bisa disebut sebagai the privileged few yang mengejar keunggulan dalam era globalisasi dan persaingan bebas. Dalam dunia pendidikan, tarik ulur antara keunggulan dan pemerataan selalu menjadi isu sangat menarik untuk dikaji. Ketika ada banyak gedung sekolah ambruk dan ada anak yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah, segelintir anak sedang menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia.

Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan ada fenomena menarik yang berkembang akhir-akhir ini. Beberapa pemain dari kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elit. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.
Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi dan melanda dunia pendidikan. Di jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa di berbagai universitas terkemuka di Indonesia melakukan aksi menentang biaya tinggi pendidikan tinggi. Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.

Perdebatan antara anti -otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu. Kelompok yang menentang otonomi perguruan tinggi berpandangan negara harus bertanggung jawab atas pendidikan dan menanggung pembiayaan perguruan tinggi negeri. Mereka mengkhawatirkan privatisasi perguruan tinggi akan menutup akses bagi calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu dan fenomena komersialisasi ini justru akan menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neo-liberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Heru Nugroho dkk (2002) menyoroti kontroversi otonomi perguruan tinggi di UGM dan menganggap kebijakan tersebut telah mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.

Sementara itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini nampaknya akan terus dijalankan. Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidak-mampuan pemerintah membiayai pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri. Namun tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas, elitisme dalam pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pendidikan yang diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya secara lebih merata menjadi roboh.

Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antar sekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Atau kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh. Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin) Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi sekolah yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.

Kemana arah pendidikan Indonesia?
Menghentikan laju para privileged few dalam mengejar keunggulan melalui regulasi dari birokrasi bukan solusi yang tepat dan bijak. Jarum jam sudah tidak bisa diputar kembali dan arus globalisasi sudah tidak terbendung. Dua poin-keunggulan dan pemerataan pendidikan-harus diupayakan secara serius dan sistematis sampai kesenjangan dalam dunia pendidikan bisa makin diminimalkan dan pendidikan bisa menjadi jembatan bagi proses demokratisasi bangsa dan kebangkitan nasionalisme baru di Indonesia.

Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah yang beragam menurut latar belakang sosio ekonomi yang berbeda. Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Sampai saat ini, belum nampak adanya pembenahan yang signifikan dan terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan besar: Kemana arah pendidikan di Indonesia?

Pendidikan dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai dengan tujuan dan berada pada rel yang tepat.

Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia. Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan bukan hanya state building dan nation building melainkan juga capacity building. Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti UAN/UNAS. Dengan kebijakan otonomi daerah, setiap kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat namun bermutu tinggi. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

Buchori Mochtar. Pendidikan Antisipatoris. Kanisius, 2001.
Burbules, N. C. and Torres, C. A. (2000) Globalization and Education: Critical Perspectives, London: Routledge. The introduction available on the web: [i]http://faculty.ed.uiuc.edu/burbules/ncb/papers/global.html
Falk. Richard. On Human Governance: Toward a New Global Politics. The Pennsylvania State University Press, 1995.
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. New York: The Seabury Press, 1974.
Giddens, Anthony. (1990) The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press.
Kachru, B. (1983). Introduction: The other side of English. In Braj Kachru (Ed.), The other tongue: English across cultures. Oxford: Pergamon Press, pp. 1-12.
Lie, Anita. "Peran Bahasa Inggris dalam Pembentukan Identitas Sosiokultural dan Implikasinya bagi Desain dan Implentasi Kurikulum Bahasa Inggris." Makalah dipresentasikan dalam Kongres Linguistik Nasional yang diadakan oleh Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar, Juli 2002.
Lie, Anita. "Membedah Industri Pendidikan Tinggi." Kompas, 17 Juni 2004.
Lie, Anita. "Menuntut Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan." Kompas, 5 Juli 2004.
Mangunwijaya, Y.B., Pr. "Beberapa Gagasan tentang SD bagi 20 juta Anak dari Keluarga Kurang Mampu," Sumaji (ed), Pendidikan Sains yang Humanistis. Kanisius, 1998.
Nugroho, Heru (Ed.) McDonaldisasi Pendidikan Tinggi. Center for Critical Social Studies dan Penerbit Kanisius, 2002.
Rahardi, Kunjana. Jejak-Jejak Peradaban. Dioma, 2003.
Sen, Amartya. (2002) 'How to judge globalization', The American Prospect Online, http://www.prospect.org/print/V13/1/sen-a.html
Sindhunata (ed), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita. Kanisius, 2000.
Sperling, Michael. "Globalization versus Global Education". Academic Convocation Address, October 3, 2001, at Fairleigh Dickinson University
Globalisation and Education. www.infed.org/features/globalization_feature.htm

Kamis, 16 Desember 2010

Kenapa harus belajar Bahasa Arab?

MARI BELAJAR BAHASA ARAB

Sebagaimana yang telah menjadi keyakinan dalam diri kita adalah bahwasanya jalan yang memberi kita jaminan keselamatan dan kenikmatan Islam adalah satu dan tidak berbilang-bilang yaitu mengilmui dan mengamalkan ajaran Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah dan dipahami oleh para sahabatnya. Dalam hadits riwayat Imam Muslim disebutkan, “Aku tinggalkan sesuatu bersama kalian, jika kamu berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku”.

Dan Allah SWT telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran karena bahasa Arab adalah bahasa terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.”(Yusuf : 2) .

Oleh karena itu tidak perlu diragukan lagi, memang sudah seharusnya bagi seorang muslim mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam ,dia dibawa turun oleh Ar ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”(Asy Syu’ara:192-195).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Alloh dan menegakkan syiar-syiar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim:162)

Beliau juga berkata, “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah di dalam ilmu ushul fiqh : apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib. Namun di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Umar bin Yazid, beliau berkata : Umar bin Khoththob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya) “…Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan i’rablah Al-Quran karena Al-Quran itu berbahasa Arab.” Dan pada riwayat lain, beliau (Umar bin Khattab) berkata, “Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian, dan belajarlah ilmu faraid (ilmu waris) karena sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian.”(Iqtidha Shiratil Ibrahim]Mustaqim:207)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama Islam dan bahasa Al-Quran, tidak akan dapat memahami Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap permasalahan agama. Marilah kita pelajari bahasa Arab…! ^_^

Arabic Language Learning is Fun!!

METODE CEPAT BELAJAR BAHASA ARAB


Berikut metode cepat untuk menguasai dan mempermudah belajar bahasa :

1. Hendaknya kita mengikhlaskan niat dalam belajar untuk menunaikan kewajiban kita kepada Allah dan membekali diri dengan ilmu agar bisa beramal saleh. Karena amal tidak akan diterima tanpa niat dan cara yang benar. Sementara niat dan cara yang benar tidak akan diperoleh kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Kitabul Ilmi di kitab sahih Bukhari yang berjudul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Dalilnya adalah firman Allah 9yang artinya), “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu…” (QS. Muhammad : 19). Selain itu hendaknya kita berdoa kepada Allah untuk diberikan ilmu yang bermanfaat.


2. Sebelum lebih jauh mempelajari kaidah bahasa Arab maka sudah semestinya kita mempelajari cara membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan hukum-hukum tajwid agar tidak salah dalam membaca atau mengucapkan. Padahal, salah baca atau salah ucap akan menimbulkan perbedaan makna bahkan memutarbalikkan fakta. Suatu kata yang seharusnya berkedudukan sebagai pelaku berubah menjadi objek dan seterusnya. Tentu saja hal ini –membaca dengan benar serta mengikuti kaidah-tidak bisa disepelekan.


3. Menambah kosakata merupakan salah satu sebab utama untuk melancarkan proses belajar kaidah dan membaca kitab. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membeli Kamus Bahasa Arab-Indonesia seperti Al-Munawwir, atau dengan membeli kamus kecil Al-Mufradat yang berisi kosakata yang sering digunakan dalam kitab-kitab para ulama. Selain itu bisa juga dengan membeli satu jenis buku dengan 2 versi; asli bahasa Arab dan terjemahan. Dengan memiliki kitab berbahasa Arab akan memacu pemiliknya untuk bisa membacanya. Sedangkan dengan terjemahannya akan membantu dalam proses belajar membaca kitab ketika menemukan kata-kata atau ungkapan yang susah dimengerti.

4. Hendaknya mencari guru yang benar-benar memahami materi kaidah bahasa Arab
dan bisa mengajarkannya. Untuk poin ini mungkin sangat bervariasi –tidak bisa diberi batasan yang kaku-, karena tingkat pemahaman orang terhadap kaidah bahasa arab juga bertingkat-tingkat. Hanya saja yang dimaksud di sini adalah perlunya memilih guru yang mengajarkan materi dengan dasar ilmu bukan dengan kebodohan.

5. Dibutuhkan kesabaran untuk terus mengikuti pelajaran dan mengulang-ulang pelajaran (muraja’ah) agar pemahaman yang dimiliki semakin kuat tertanam. Apabila menemukan hal-halyang belum dipahami hendaknya segera menanyakan kepada pengajar atau orang yang lebih tahu dalam hal itu. Az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam, barangsiapa yang ingin mendapatkan segudang ilmu secara tiba-tiba niscaya ilmu yang diperolehnya akan cepat hilang.”

6. Hendaknya bersungguh-sungguh dalam belajar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami pun akan memudahkan baginya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. Al-Ankabut : 69). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ta’ala mengaitkan antara hidayah dengan kesungguh-sungguhan/jihad. Maka orang yang paling besar hidayahnya adalah orang yang paling besar kesungguhan/jihadnya. Pepatah arab mengatakan, “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, niscaya dia akan mendapatkan.”

7. Untuk bisa mendukung pembelajaran bahasa Arab bagi pemula maka mengikuti kajian-kajian kitab berbahasa Arab merupakan salah satu sarana yang paling efektif untuk membiasakan diri dengan kata atau istilah bahasa Arab yang termaktub di kitab-kitab para ulama. Kitab-kitab yang sudah semestinya dikaji oleh pemula adalah kitab-kitab yang membahas perkara-perkara agama yang harus dipahaminya seperti kitab yang membahas dasar-dasar tauhid semacam Al-Qawa’id Al-Arba’, Tsalatsatu Ushul, dan Kitab Tauhid yang ketiga-tiganya merupakan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Apabila tidak bisa mengikuti secara langsung maka bisa diupayakan dengan mendengarkan CD kajiannya atau bahkan kalau ada yang berupa format VCD.


8. Membaca buku pelajaran kaidah bahasa Arab. Buku-buku pelajaran kaidah bahasa Arab dengan pengantar bahasa Indonesia yang bisa didapatkan misalnya; Ilmu Nahwu Praktis sistem belajar 40 jam karya A. Zakaria (untuk pemula) dan Ringkasan Kaidah-Kaidah Bahasa Arab karya Ustadz Aunur rafiq Ghufron, Lc. (untuk menengah). Atau bagi yang ingin mendengarkan audio pelajaran bahasa Arab bisa mendownload di internet dengan alamat http://badar.muslim.or.id
Semoga berhasil dengan cepat menguasai bahasa arab

Kamis, 04 November 2010

Cara Pintar Belajar

Kita mengaku sebagai penuntut ilmu Tapi kita masih suka lambat-lambat dalam berjalan,malas bertanya(membaca), banyak tidur, Makan banyak-banyak,
Masihkah kita ingat perkataan salah seorang ulama: “Pelajar itu mesti Cepat dalam empat perkara :
1.Cepat dalam Melangkah,
2.Menulis,
3.Membaca, dan
4.Makan
Mudah-mudahan waktu yang tersisa dapat menjadi goresan emas kita Sebelum kita beranjak ke alam selanjutnya...
Karena memang semua kita tahu betapa berharganya dan pentingnya waktu itu, tapi yang membuatnya berbeda adalah bagaimana kita memanfaatkan waktu,,
Ada yang maksimal, ada yang setengah-setengah, dan ada yang menyia-nyiakannya Adapula yang salah faham dalam memanfaatkan waktu Disangka telah diisi dengan hal yang berfaedah Padahal kewajiban kita terhadap waktu lebih dari itu Inilah kiranya kemunduran kita tidak seperti orang-orang terdahulu.
Memanfaatkan waktu dan menggunakannya dengan sebaiknya adalah diantara bentuk kesyukuran kita kepada Tuhan yang menganugerahkan kehidupan bagi kita Menunaikan kewajiban waktu berarti menghambakan diri kepada Allah Waktu dimaksimalkan pemanfaatannya berarti menggemilangkan Islam mulia.
Beberapa Prisnsip yang dipegang oleh orang-orang terdahulu, diantaranya :
“Ibnu Abbas dan Imam Syafi'i mengatakan: belajar satu bab lebih aku sukai dari shalat sunat 100 rakaat.
Khalil bin Ahmad mengatakan: Waktu yang sangat berat bagiku adalah waktu yang ku habiskan untuk makan.
Lain pula dengan Ibnu Sahnun, berkali-kali pelayannya mempersilahkannya untuk makan malam.Menjelang sahur dia baru bertanya makan malam, Ia sibuk belajar tak terasa sang pelayan telah menyulangkan makanan dari tadi malam.
Adalah prinsip Imam Al Juwaini Al Haramain patut kita contohi.... Dia berkata: Daku makan dan tidur karena terpaksa untuk tenagaku, bukan kebiasaan Ibnu 'Aqil pensyarah Alfiyah Ibnu Malik lebih suka makan kue yang dicelup kedalam air dari roti yang lebih enak, agar waktu tidak ada yang disiakan Imam Nawawy yang meninggal muda 45 tahun tapi karangannya susah dibuat orang sekalipun 100 tahun, makan hanya sekali diwaktu buka puasa dan minum di waktu sahur.
Adapula diantara kita suka jalan-jalan, tamasya, tour luar negeri, mendaki gunung, ke tepi pantai dan lain-lain lagi Kalau ditanya kenapa? Jawabanya adalah: supaya rileks, umtuk merenggangkan urat saraf. Adapula yang jawab untuk cuci mata. Mata dicuci dengan wudhu' bukan dengan maksiat...^_^.
Lihat bagaimana Abu Nu'aim Al Ashfahani... para murid menyetor hadis dalam perjalanan beliau kembali ke rumah.Az Zamakhsyari karena musim yang terlalu dingin.. kakinya lepas ketika berjalan tidak terasa karena semangatnya dalam menuntut ilmu.
Adakah yang lebih menikmati perjalanan dari seorang yang tekun menuntut ilmu seperti Muhammad Thahir Al Maqdisi yang sanggup berjalan sehari 100 km dengan memikul kitab-kitabnya.
Lebih lagi Abul 'Ala Al Hamdzani, berkali-kali dia berjalan dengan membawa kitab-kitabnya dari Baghdad ke Ashbahan.
Para muridnya menghitung lebih kurang sehari dia berjalan 30 Farsakh atau 150 Km Ibnul Jauzy mengatakan: salah seorang sahaleh mengatakan kepadaku bahwa dia mimpi jumpa Abul 'Ala di sebuah kota yang semua dinding dan pagarnya adalah buku. Dan Abul 'Ala terlihat sedang sibuk menelaah kitab-kitabnya. Aku tanyakan: Buku-buku apakah ini wahai tuan Syeikh? Beliau jawab: Dahulu didunia aku selalu berdoa agar aku diberi kenikmatan menelaah buku dialam barzakh. Alhamdulillah Allah kabulkan doaku. Dengan demikian apakah membaca buku baginya lebih ia sukai dari makan, jalan-jalan, atau bahkan mendekati istrinya? Jawabannya anda lebih tahu... karena kalau tidak demikian tak akan menjadi kalimat doa yang selalu ia ucapkan.
Adapula diantara kita punya uang yang banyak, tapi keinginannya adalah membeli peralatan rumah, mobil, hp dan alat-alat canggih lainnya, atau keinginan perutnya Kalau ditanya berapa kitab ilmu yang engkau miliki. Dia akan merasa aneh dengan soal ini Bukankah Imam Muhammad Al Hasan mengorbankan 30 ribu dirham untuk belajar hadits, fiqh, nahu dan sya'ir 1 dirham sama dengan 2,975 gram perak Berarti kalau dikalikan dengan 30 ribu sama dengan 89250 gram perak Bahkan Yahya bin Ma'in lebih lagi, menginfakkan 1juta 50 ribu dirham Dan Abul 'Ala Al Hamdzani tadi adalah anak saudagar kaya Ketika ayahnya meninggal… warisan yang ia dapatkan ia korbankan semuanya untuk kebutuhan belajarnya sehingga tak tersisa sedikitpun.
Kalau bicara dan berhumor sungguh banyak sekali terjadi pada kita Hingga kadang tak terasa berjam-jam kita habiskan untuk kesia-siaan ini. Mari kita perbaiki diri dan mengoreksi diri sendiri,,.Janganlah sampai waktu kita habiskan hanya untuk hal yang sia-sia dan mengkritik orang lain,,,karena banyak dari kita yang merasa pintar tapi tidak pintar merasa,,,, waAllahu a’lam.
Asam Peutik , Langsa ,, 5 november 2010

Abu Hanifah : Yang Terbaik di antara Yang Baik

"Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh ALLAH, niscaya akan diberikan pemahaman agama baginya". (HR. Bukhari – Muslim).
Di dalam beberapa ungkapan, ada di sebutkan tentang bagaimana seseorang dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat dan berkah, salah satunya yakni ;”Dengan adab seseorang akan memperoleh ilmu dan dengan Ilmu amal menjadi benar (baik) dan dengan Amal hikmah akan diperoleh”. Ada kisah menarik dari Abu Hanifah ketika permulaan dia menuntut ilmu. Beliau berkata: Ketika daku hendak menekuni ilmu, aku perhatikan setiap ilmu, semuanya ku letakkan didepan mataku. Ku baca satu persatu, dan aku membayangkan kesudahannya.
Permulaan sekali ku lihat ilmu kalam, ternyata kesudahannya adalah buruk, dan manfaatnya sedikit. Dan apabila seseorang sempurna dalam ilmu kalam, niscaya dia tidak bisa bicara terang-terangan, dan niscaya dituduh dengan tuduhan yang buruk...
Kemudian ku perhatikan ilmu Adab dan Nahu. Ternyata kesudahannya nanti daku hanya akan duduk dengan anak kecil yang belajar Adab dan Nahu. Kemudian ku perhatikan Ilmu Sya'ir, ternyata kalaupun daku berhasil menguasainya kerjaku hanyalah memuji dan menyanjung orang, dan bisa jadi kata-kataku hanya dusta dan mencerai-beraikan agama.
Kemudian ku perhatikan lagi ilmu Qiraat. Ternyata kesudahannya aku akan duduk dengan orang-orang yang baru belajar, mereka akan memintaku membenarkan bacaan mereka, lagi pula ilmu Al Quran dan mempelajari makna-maknanya sangat sulit.
Lalu aku berazam ingin mempelajari Hadits. Namun kalau aku ingin menghafal hadits sebanyak-banyaknya, niscaya aku butuh umur yang panjang. Dan bisa saja mereka akan menuduhku sebagai seorang pendusta dan buruk hafalan hingga ke hari kiamat.
Kemudian Aku lihat ilmu Fiqh. Setiap kali ku perhatikan ilmu Fiqh dari segala sudutnya, aku semakin mengaguminya, tidak ada kecacatan padanya. Dan ku perhatikan juga, bahwa: ibadah fardhu, menegakkan agama dan beribadah tidak akan sempurna tanpanya. Segala perkara dunia dan akhirat pun tidak akan sempurna tanpa ilmu ini...
Begitulah sekilas bagaimana cara dari Imam Abu Hanifah ketika pada saat pertama kali ingin menetukan dan memilih ilmu apa yang akan beliau pelajari dan terlebih baik serta banyak memberi manfaat tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga lingkungan dan masyarakat sekitarnya dan termasuk kita sekarang ini.
Tapi juga jangan lantas kita berkecil hati tentang suatu bidang ilmu yang sudah kita tekuni sekarang ini,,,, setiap ilmu akan bermanfaat ketika ia (ilmu) itu di amalkan dan di ajarkan kepada diri sendiri dan orang lain,, Oleh karnanya Mari kita mengisi hari-hari kita dengan menambah dan mengamalkan pengetahuan (ilmu) yang baik dan bermanfaaat untuk diri kita dan orang di sekitar kita,,,,
Hidup tanpa iman terasa hampa dan amal tanpa ilmu juga akan kering dan gersang,,,,. Semoga bermanfaat,,. Wallahu a’lam
Sumber :
Kitab Tarikh Muhammad Abu Zuhrah Baghdad.
Kitab Adab al-insan fi al-islam.
el-Asam Peutik , Langsa 5 November 2010

Ihsan : Klimaks dari sebuah 'Amal

Ketika Cinta sudah berbicara,,,,!!.
Ada sebuah dialog yang menarik, yang dialog ini terdapat dalam kitab hadits Arba’in an-Nawawi,tepatnya pada hadits yang kedua,,, dialog ini terjadi pada saat Rasul SAW bersama para Sahabatnya sedang berada di sebuah tempat, tiba-tiba datang seseorang dengan pakaian putih bersih, wajahnya bersih dan berseri kepada Rasul SAW,, setelah terjadi dialog orang tersebut pun pergi,,,setelah orang tersebut pergi , Umar bin Khatab bertanya pada rasul SAW,,, Siapakah tamu yang berdialog dengan engkau tadi Ya Rasulallah,,, Lalu Rasul menjawab,,, itu tadi adalah malaikat jibril yang datang kepadaku untuk mengajarakan Agama kepada kalian,,,, Nah isi dialognya begitu di kutip oleh Bukhari yakni tentang Iman , islam dan ihsan,,,, tentang Ihsan yakni isinya adalah “Apa Itu ihsan??,, Rasul menjawab,,, Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya dan bilamana engkau tidak melihatnya maka yakinlah bahwa Allah SWT melihat engkau,,,.
Hal ini menunjukkan ishan merupakan puncak klimaks dari iman dan islam yang baik, sehingga timbul kenikmatan spiritual kalau kita menyembah Allah SWT. Sehingga tidak ada lagi beban dan rasa berat untuk menjalankan perintah Allah SWT.Kita terus bersuaha menyembah Allah sampai tingkat kualitas yang tertinggi itu,,,,dimana kita menemukan kenikmatan ketika Shalat, Puasa dan sebagainya, suasana bathin seperti ini tentu tidak bisa kita dapatkan begitu saja, tentu harus ada prosese riyadhah, (proses latihan),,.
Banyak teori yang di kembangkan oleh sufi,,bagaimana caranya menemukan kenikmatan spiritual ketika menyembah atau beribadah kepada Allah SWT, salah satunya adalah teori yang dikembangkan oleh Rabi’ah al-adawiyyah,,,, yakni tentang Cinta,,, kita baru bisa menemukan kenikmatan menyembah Allah kalau kita sudah cinta kepada Allah, dan ketika kita sudah cinta kepada Allah maka mengucapkan NamaNya merupakan sebuah kenikmatan,, berdialog denganNya merupakan sebuah hiburan dan bahkan pasrah kepadaNya menjadi sebuah pengobatan,, ia mengunggakapkan sebuah do’a,, yang kemudian do’anya ini menjadi bahan debat diantara para pemikir islam,,, isi do’anya adalah :
“Ya Tuhan seandaiya aku menyembahMu karena mengharapakan surgaMu maka haramkan surga itu untukku, sebab berarti aku menyembahmu bukan karena mengharapaknMu tapi mengharapakn maklukmu,,yaitu surga,,, aku menyembahm\Mu karena mengharapkan engkau bukan makhlukmu, Surga.
Seandainya aku menyembahmu Tuhan, karena saya takut masuk nerakamu,aku ini milikimu, dan neraka itupun milikmu,, aku tidak merasa memiliki diriku ini,, emgkaulah yang menentukan segalanya,, siapa yang dapat menghalangi diriku untuk di masuskkan ke nerakamu,,, karena egkaulah yang memiliki diriku mau dinerakakan atau tidak itu hakmu Karen engkaulah yang memiliki seagalanya,,,.
Saya menyembahmu Tuhan, karena saya rindu dan cinta denganMu”.
Ini adalah konsep cinta,, kita boleh tidak setuju dengan ungkapan-ungkapan do’anya, akan tetapi cinta bisa membangun kenikmatan beribadah,, kita senang kalau bertemu dengan yang kita cintai, kita merasa nikmat bisa berdialog dengan yang kita cintai, kita merasa nikmat kalau kita sudah bertemu dan melihat yang kita cintai,, begitulah konsep yang disodorkan oleh Rabi’ah, tentang cinta,, bagaimana kita bisa menyembah Allah tidak karena terpaksa, sehingga ibadah menjadi sebuah kenikmatan,, kalau ibadah sudah menjadi sebuah kenikmatan, maka ibadah tidak lagi menjadi beban justru ia menjadi refreshing (sebuah penyegaran) rohaniah bahkan sebagai syifa' (pengobatan spiritual).karena itulah timbul berbagai macam ungkapan slah satuya adalah " Siapa yang belum pernah merasakan, maka ia belum mengetahui",, Mudah-mudahan tulisan sigkat ini dapat bermanfaat.
Asam Peutik,Langsa 5 November 2010

Sabtu, 31 Juli 2010

Selayang Pandang : Syeikh Hasan Al-Bana

Dari Abi Hurairah r.a berkata,,, bahwa Rasulullah SAW bersabda ..“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang membawa pembaharuan pemahaman agamanya.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim)

Diantara sunnatullah yang berlaku di dunia ini adalah munculnya tokoh pada masa yang sesuai dengan kebutuhan zaman tertentu, sehingga pada setiap penghujung abad Allah mengutus seseorang yang akan membangkitkan agama untuk umat ini dan mengembalikan vitalitasnya.

Sejarah membuktikan bahwa, dalam diri umat yang tengah menderita sakit dan terlelap dalam tidur panjang, sebenarnya menyimpan potensi besar yang sewaktu-waktu, dikala sulit, dapat muncul sebagai kekuatan yang menggentarkan manakala ada seorang pemimpin yang menyadarkan, membangunkan dan membangkitkannya.

Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Bumi ini tidak akan pernah sepi dari orang yang bangkit karena Allah dengan hujjah.” Bisa jadi tokoh yang hadir memenuhi kebutuhan zaman itu adalah seorang imam besar seperti Umar bin Abdul Aziz; bisa jadi seorang tokoh militer seperti Nuruddin Mahmud atau Shalahuddin Al-Ayyubi; bisa jadi seorang intelektual dan tokoh da’wah seperti Abu Hamid Al-Ghazali; dan bisa jadi seorang Murabbi ruhiyyah (guru spiritual) seperti Abdul Qadir Al-Jailani; bisa jadi seorang pembaharu fiqih, pendidikan, dan pembaharu pemikiran seperti Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyah.

Masing-masing dari mereka melakukan pembaharuan di bidang-bidang yang dibutuhkan oleh zamannya dan lingkungan di mana mereka hidup.

Kondisi umat Islam, khususnya dunia Arab, pada penghujung abad dua puluh ini membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki pemikiran jauh menembus cakrawala ke depan, kepekaan yang prima, iman dan keyakinan yang kokoh, tekad kuat dan mental baja, yang merasakan dan memahami apa yang dirasakan dan dibutuhkan umatnya, mampu mendiagnosa penyakit yang tengah dialami umatnya, menentukan terapi dan obatnya yang tepat, dan sabar mengikuti perkembangan proses pemulihan kondisi umatnya dari masa-masa sakit hingga masa sembuhnya dan kembali bugar serta memiliki stamina prima.

Kilas Balik Sejarah

Pemimpin yang dinanti-nantikan itu adalah Hasan Al-Banna. Seorang yang dikaruniai Allah banyak kelebihan sejak dini, faktor yang banyak mendukung kemampuannya dalam mengemban tugas-tugas da’wahnya. Lingkungan pedesaan di mana ia lahir dan dibesarkan penuh dengan nuansa keagamaan yang kental, jauh dari suasana kota metropolitan dan pengaruh budaya asing yang tidak islami.

Ia dididik oleh ayahnya, seorang ulama hadits yang menyusun dan mengkodifikasi ulang secara sistematis kitab Al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal , dan juga para ulama dan ustadz yang shalih, hingga telah mampu menghafal Al-Qur’an sejak usia belia, menghafal Hadits, Syi’ir, dan kitab-kitab matan dalam berbagai disiplin ilmu agama.

Sementara, dalam pembinaan ruhiyah-nya, sejak kecil ia telah bergabung dengan Thariqat Hushafiyah, sebuah thariqat sunniyah (sesuai dengan sunnah Rasul saw), yang berpengaruh pada pembentukan pribadi, watak dan karakternya. Namun ia merasa belum menemukan apa yang tengah ia cari.

Pada usia remaja, ia pindah dari kampung halamannya, Al-Mahmudiyah, ke kota Damanhur, ibukota propinsi Al-Buhairah, Mesir, untuk meneruskan studinya di kota tersebut; bertepatan dengan tengah memanasnya suhu politik dan pemikiran yang mengubah konstalasi sosial, politik, ekonomi, dan pemikiran dekade dua puluhan di Mesir.

Dengan ketajaman mata hatinya dan kecerdasan akal fikirannya, ia mengamati seluruh fenomena empiris di hadapannya, berupa krisis moral, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, agama, dan pemikiran; yang tengah menggerakkan negerinya menuju lembah kehancuran dan kehinaan. Berbagai persoalan besar itu terus menggayuti fikirannya.

Mengapa umat Islam menjadi seperti ini? Siapa yang dapat menanggung beban mereka ? Bagaimana mengatasi ini semua?. Ia lalu menemui para ulama dan tokoh masyarakat untuk mencari solusi, akan tetapi hanya sedikit di antara mereka yang memberi respon positif, selebihnya tidak.

Kemudian Ia menghubungi kawan-kawannya seperguruan di Thariqat Hushafiyah, namun mereka tidak meresponnya dengan serius. Pada tahun kedua di Mesir, ia mengadakan kontak dengan kelompok keagamaan, Jam’iyyah Makarim Al-Akhlaq Al-Islamiyyah, yang kegiatannya lebih banyak pada ceramah tentang agama Islam. Namun ia menilai ini juga tidak akan cukup untuk menghadapi gelombang besar de-islamisasi yang tengah melanda umat.

Menghadapi ini semua, ia pun berkata, “Wallahu a’lam bish-shawab, bermalam-malam kuhabiskan waktu untuk menyelami kondisi umat ini, di mana posisinya di berbagai bidang kehidupan. Aku berusaha menganalisa, mendiagnosa penyakitnya, memikirkan terapi yang tepat serta menentukan obatnya. Hatiku terpanggil berbalut rasa pedih, hingga aku menangis sedih meneteskan air mata...”

Da’wah yang Membangkitkan

Berangkat dari keprihatinannya dan keyakinannya bahwa metode ceramah di masjid saja tidak cukup untuk menyebarluaskan akidah dan fikrah Islam di tengah masyarakat, maka ia mulai melakukan pengorganisasian sekelompok mahasiswa dari Universitas Al-Azhar dan Darul Ulum yang berminat pada training penyadaran dan pelatihan da’wah, untuk kemudian diterjunkan langsung di tengah masyarakat.

Mereka melakukan pembinaan kader-kader da’wah ini di masjid-masjid. Dan ternyata, metode penyadaran ini membuahkan sukses besar di kemudian hari.

Sebab, langkah-langkah mereka dilanjutkan di tempat-tempat umum secara langsung berinteraksi dengan khalayak ramai, seperti di warung-warung kopi dan acara-acara tempat berkumpulnya masyarakat, dengan sasaran memperkokoh idealisme Islam dan menyebarluaskannya ke berbagai kalangan.

Hasan Al-Banna pun rajin membangun dialog dengan para pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat. Ia berulang kali mengunjungi perpustakaan salafiyah yang dipimpin oleh Muhibuddin Al-Khatib, untuk membaca dan berdialog dengannya; bergaul dengan Rashid Ridha As-Suri yang dipandang sebagai pewaris pemikiran Muhammad Abduh serta penulis tafsir Al-Manar ; menjadikan Farid Wajdi dan Ashmad Taimur Pasha sebagai mitra dialog yang dikaguminya.

Sebab ia melihat bahwa mereka ini adalah tokoh-tokoh yang concern terhadap persoalan-persoalan Islam dan umatnya.

Upayanya untuk membangun dialog dengan berbagai kalangan akhirnya mengantarkannya berdialog dengan para ulama Al-Azhar, yang kala itu merupakan pilar-pilar pemikiran Islam. Al-Banna mengkritik perlawanan mereka yang tidak efektif dan sikap menyerah mereka terhadap arus westernisasi, missionarisasi, permisivisasi, dan hedonisasi yang telah mencabik-cabik bangunan masyarakat Muslim .

Akhirnya Al-Banna merasakan dengan sadar bahwa telah tiba saatnya untuk melakukan sesuatu dan memetakan dengan jeli berbagai persoalan dalam rangka menyamakan visi perjuangan. Ia melihat dengan jelas bahwa inilah saatnya untuk merumuskan langkah-langkah strategis guna menyelamatkan umat Islam, dan berperan nyata dalam upaya mewujudkan tujuan, misi, dan visi perjuangan.

Pada akhir masa studinya di Universitas Darul Ulum, pihak kampus meminta para mahasiswa untuk menulis makalah dengan tema: “Obsesi terbesar setelah menyelesaikan studi, dan sarana untuk mewujudkannya”.

Al-Banna mulai menulis apa yang ditugaskan oleh Fakultasnya, yang diantara cuplikannya ia menyatakan, “Aku berkeyakinan bahwa sebaik-baik jiwa adalah jiwa yang dalam memahami hakikat kebahagiaan, tolok ukurnya adalah sejauh mana ia dapat membahagiakan umat manusia dan dapat memberikan bimbingan kepada mereka.

Adapun perasaan gembira juga tergantung pada sejauh mana ia mampu menggembirakan mereka dan memberikan perlindungan kepadanya. Berkorban dalam rangka melakukan ishlah (reformasi, perbaikan) yang menyeluruh akan dihitung sebagai keuntungan dan ghanimah. Berjihad di jalan yang benar dan berhidayah –sekalipun sangat terjal dan banyak kesulitan yang harus dihadapi- merupakan hiburan dan kenikmatan sejati.”

“Aku berkeyakinan bahwa tujuan tertinggi yang wajib dituju oleh setiap insan dan merupakan keuntungan terbesar yang harus diraih adalah ridha Allah swt. Dengan itulah Dia akan memasukkannya ke dalam ‘pekarangan suci’-Nya, menyandangkan padanya ‘selendang’ kelembutan-Nya, serta menjauhkannya dari adzab-Nya.

Orang yang ingin meraih tujuan ini, di hadapannya terdapat dua jalan, yang masing-masing memiliki karakter dan keistimewaan. Ia dapat menempuh jalan mana saja yang dikehendaki.

Pertama, jalan tasawuf yang benar, yang tercermin dalam sikap ikhlas dan amal, serta memalingkan hati dari kesibukan dengan sesama makhluk, yang baik maupun yang buruk. Jalan ini lebih dekat dan lebih selamat.

Kedua, jalan ta’lim (pendidikan) dan irsyad (bimbingan) –yang sama seperti di atas- dalam hal sikap ikhlas dan amal, namun berbeda dalam hal bergaul dengan orang lain, mempelajari keadaan mereka, memahami perkumpulan-perkumpulan mereka, serta mencari tahu terapi macam apa yang mujarab untuk mengobati penyakit-penyakit yang tengah menghinggapi umat.

Ini lebih mulia dan lebih agung, karena Al-Qur’an menyarankannya dan Rasul pun menyatakan keutamaannya. Yang kedua ini lebih tepat, setelah aku menempuh jalan yang pertama, karena kemanfaatannya yang berlipat ganda dan keutamannya yang agung.”

Di antara kedua jalan di atas, jalan kedua inilah yang lebih wajib bagi para muta’allim (penuntut ilmu) dan yang terbaik pula bagi yang sudah ‘alim (berilmu).

‘Agar mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali ke tengah-tengah mereka, sehingga kaum itu menjadi berhati-hati.’ (At-Taubah : 122)”

“Aku berkeyakinan bahwa umatku –lantaran pergolakan politik yang menimpanya, pergeseran nilai-nilai sosial, serta pengaruh peradaban Barat, westernisme, materialisme, serta tradisi Eropa- menjadi jauh dari kehendak agama mereka dan tujuan Kitab mereka, lupa terhadap kemuliaan dan keagungan generasi sebelum mereka dan lupa terhadap peninggalan para pendahulu mereka. Akibatnya agama yang benar ini tercemari oleh nilai-nilai ideologi lain yang gelap dan asing. Hakikat agama yang putih cemerlang telah tertutup dari pandangan mereka. Demikian pula dengan nilai-nilai pendidikan dan pengajaran yang lurus tertutupi oleh tirai kerancuan dan kepalsuan yang dilatari oleh berbagai pemikiran aneh. Akhirnya, umat yang awam pun terperosok ke dalam gelapnya kebodohan. Para pemuda dan kaum berilmu juga tersesat dalam lembah kebingungan dan keragu-raguan, yang akibatnya mereka mewarisi aqidah yang rusak, mengalami skeptisisme dan kehampaan spiritual, dan keimanan bergeser menjadi kekufuran.”

“Aku juga berkeyakinan bahwa jiwa manusia pada hakikatnya penuh dengan cinta. Ia harus memiliki arah yang menjadi labuhan bagi curahan cintanya. Saya tidak melihat seorang pun yang lebih mulia dari emosi cintaku selain seorang sahabat yang ruhnya menyatu dengan ruhku, sehingga dengan sepenuh hati kuberikan cintaku padanya, dan kuutamakan ia untuk menerima persahabatanku ini.”

Al-Banna memandang bahwa untuk menyikapi kondisi seperti ini, misi utamanya adalah membalikkan arus negatif ini. Untuk mewujudkan itu ia harus menjadi guru, pendidik, dan da’i; berkhidmat membina para remaja di siang hari dan para orangtua mereka di malam hari. Dengan demikian ia dapat menyampaikan tujuan-tujuan agama kepada mereka semua, sebagai sumber kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup mereka.

Awal Berdirinya Al-Ikhwan Al-Muslimun

Hasan Al-Banna membulatkan tekadnya. Di tengah kesulitan dan tribulasi yang menghadangnya, tokoh muda yang menakjubkan ini mulai berpergian ke berbagai kota dan desa-desa di seluruh penjuru Mesir untuk berda’wah dan melakukan pembinaan. Sekitar tiga ribu dari empat ribu desa di seluruh Mesir telah ia masuki.

Dan selama kurang lebih dua puluh tahun, ia berupaya keras membangun kembali puing-puing masyarakat yang hancur oleh penjajahan budaya dan militer dan menghembuskan ruh kehidupan baru pada tubuh yang tak berdaya itu.

Di tengah kesibukannya berda’wah, ia senantiasa tetap menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok Islam, para tokoh, ulama, dan juga sahabat-sahabatnya yang telah berikrar bersama untuk berkhidmat pada misi Islam. Organisasi Pemuda Muslim memperoleh perhatian yang istimewa darinya, sebab ia ikut membantu pembentukan-nya pada tahun 1927, menjelang kelulusannya sebagai sarjana pada tahun yang sama.

Tetapi karena ia tidak melihat pada organisasi ini adanya pandangan yang luas dalam menatap persoalan umat, maka setahun kemudian, tepatnya pada Dzulqa’dah 1347 H atau Maret 1928, Al-Banna beserta enam orang sahabatnya mengumumkan secara resmi berdirinya jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun. Bertepatan dengan usianya yang 22 tahun!

Ini memang sebuah misi yang menuntut kerja keras dan pengorbanan bagi setiap anggota atau kadernya, kajian dan pemahaman yang mendalam, disamping stamina yang mampu menghadapi ujian fisik dan mental, sementara jiwanya digadaikan untuk Allah.

Tekad Al-Banna telah membaja, hingga ia mengatakan, “Ini adalah perjanjian antara diriku dengan Tuhanku. Aku bersumpah pada diriku sendiri dan disaksikan oleh sahabatku dalam kesendirian yang hanya dapat dirasakan oleh perasaanku, dan diwaktu malam hening yang hanya diketahui oleh Dzat yang Maha Mengetahui...

‘Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.’ (QS.Al-Fath: 10)”.

Perjuangannya memang spektakuler. Di tengah hantaman badai dan gelombang ujian dahsyat yang menimpa dirinya dan para kadernya secara bertubi-tubi, jama’ahnya tumbuh dan berkembang menjadi sebuah gerakan Islam modern terbesar di dunia.

Eksistensi gerakan ini semakin meluas dengan jumlah kader dan pendukung gerakan ini terus bertambah di berbagai belahan dunia Islam dan Arab. Bahkan juga di luar negeri-negeri Islam seperti Eropa, Amerika, Afrika, Asia Timur dan Tenggara, Australia, dan negeri-negeri lainnya.

Organisasi cabangnya yang telah berdiri secara resmi ada di 80 negara. Sementara, eksistensi gerakan Al-Ikhwan ini ada di sekitar 120 negara di 5 benua.

Belum lagi, gerakan-gerakan Islam lain di dunia ini yang menjadikan gerakan Al-Ikhwan sebagai model, dan manhaj da’wah-nya sebagai rujukan, demikian banyak. Juga tulisan-tulisan dan kitab-kitab ilmiah karya para pemikir dan kader-kader Al-Ikhwan yang menjadi bahan bacaan dan acuan para akademisi dan aktivis da’wah di seluruh dunia yang membanjiri toko-toko buku dan perpustakaan.

Dalam mensifati gerakannya, Al-Banna mengungkapkan dalam risalahnya Al-Ikhwan tahta Rayat Al-Qur’an sebagai berikut : “Kami bukanlah sebuah partai politik, meskipun politik berdasar kaidah-kaidah Islam ada dalam pemikiran kami. Kami bukanlah organisasi sosial yang reformis, meskipun kegiatan amal dan reformasi merupakan tujuan kami yang paling utama. Kami bukanlah klub olah raga, meskipun olah raga merupakan salah satu program wajib kami. Kami bukanlah bentuk-bentuk perhimpunan seperti itu, sebab semuanya bersifat temporer dan terbatas, yang kadang-kadang dibentuk hanya sekedar keinginan memperoleh sesuatu saja. Sedangkan kami wahai sekalian manusia- adalah sebuah fikrah dan aqidah, sistem dan jalan hidup yang tidak dibatasi oleh wilayah geografis dan diikat oleh etnis, dan tidak sirna karena diterpa persoalan, hingga Allah mewariskan bumi ini dan seisinya. Sebab, ia adalah sistem dan manhaj buatan Rabb semesta alam, dan jalan yang ditempuh Rasul-Nya yang amanah. Kami –bukan untuk berbangga- adalah para sahabat Rasulullah dan pembawa panji-Nya setelah mereka, pengibar bendera seperti mereka, penyebar agama seperti mereka, pemelihara Al-Qur’an seperti mereka, pelaku da’wah seperti mereka, dn rahmat Allah bagi seluruh alam. ‘Dan sungguh kalian akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an beberapa waktu yang tak lama lagi.’ (QS.Shad: 88).”

Demikianlah Imam Hasan Al-Banna menginginkan gerakan da’wahnya bukan sekedar formalitas organisasional, melainkan sebuah gerakan Islam yang positif yang mampu menghadirkan kembali spirit dan semangat para sahabat Nabi ke abad kini.

Kini, di awal abad dua puluh satu, umat Islam sedunia membutuhkan “Al-Banna”baru untuk membangkitkan spirit dan moralitas umat agar mampu menghadapi terpaan dahsyat “The Fourth Wave”, yang dapat meluluh-lantakkan ideologi dan idealisme luhur setiap muslim, dan tampil sebagai pemenang. Wallahu a’lam bish-shawwab.(Syamsul Balda)

10 nasehat dari Syeikh al-Bana.....

Imam Hasan Al-Bana, pendiri gerakan dakwah Ikhwan yang terkenal ke seluruh dunia, banyak meninggalkan catatan penting pada sejarah perjuangan Islam modern. Ingat, kehadiran Imam Hasan bertepatan dengan hanya beberapa saat setelah hancurnya kekhalifan Islam yang terakhir. Tak pelak, setelah kepergian beliau, tak ada lagi figur dakwah yang bisa dijadikan acuan dalam gerakan Islam.

Setiap hari, dalam dakwahnya, ia berjalan kaki tidak kurang dari 20 KM. Beliau menyambangi desa-desa dan dilakukannya tanpa pamrih sedikitpun dari manusia. Ia duduk di warung kopi pada beberapa malam, menyatu dengan masyarakat yang sebenarnya, dan ia mampu mengingat nama orang yang baru saja ditemuinya walaupun hanya sekali, sehingga orang yang diajak bicara olehnya menjadi simpati.

Banyak warisan dari Imam Hasan yang sangat menggelorakan semangat dakwah Islam. Berikut ini beberapa di antaranya dari sekian wasiat-wasiatnya:

1. Bangunlah segera untuk melakukan sholat apabila mendengara adzan walau bagaimanapun keadaannya.

2. Baca, Telaah dan dengarkan Al-Quran atau dzikirlah kepada Allah dan janganlah engkau menghambur-hamburkan waktumu dalam masalah yang tidak ada manfaatnya.

3. Bersungguh-sungguhlah untuk bisa berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih.

4. Jangan memperbanyak perdebatan dalam berbagai bidang pembicaraan sebab hal ini semata-mata tidak akan mendatangkan kebaikan.

5. Jangan banyak tertawa sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah (dzikir) adalah tenang dan tentram.

6. Jangan bergurau karena umat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan bersungguh-sungguh terus-menerus.

7. Jangan mengeraskan suara di atas suara yang diperlukan pendengar, karena hal ini akan mengganggu dan menyakiti.

8. Jauhilah dari membicarakan kejelekan orang lain atau melukainya dalam bentuk apapun dan jangan berbicara kecuali yang baik.

9. Berta’aruflah dengan saudaramu yang kalian temui walaupun dia tidak meminta, sebab prinsip dakwah kita adalah cinta dan ta’awun (kerja sama).

10. Pekerjaan rumah kita sebenarnya lebih bertumpuk dari pada waktu yang tersedia, maka manfaatkanlah waktu dan apabila kalian mempunyai sesuatu keperluan maka sederhanakanlah dan percepatlah untuk diselesaikan.

Sedikit Tips Bagi Pemarah,,,,,,, ^_^

Menahan marah bukan pekerjaan gampang, sangat sulit untuk melakukannya. Ketika ada orang bikin gara-gara yang memancing emosi kita, barangkali darah kita langsung naik ke ubun-ubun, tangan sudah gemetar mau memukul, sumpah serapah sudah berada di ujung lidah tinggal menumpahkan saja, tapi jika saat itu kita mampu menahannya, maka bersyukurlah, karena kita termasuk orang yang kuat.

Cara-cara meredam atau mengendalikan kemarahan:

1. Membaca Ta'awwudz. Rasulullah bersabda Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk (H.R. Bukhari Muslim).

2. Berwudlu. Rasulullah bersabda Kemarahan itu itu dari syetan, sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah (H.R. Abud Dawud).

3. Duduk. Dalam sebuah hadist dikatakanKalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah (H.R. Abu Dawud).

4. Diam. Dalam sebuah hadist dikatakan Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah (H.R. Ahmad).

5. Bersujud, artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuah hadist dikatakan "Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud). (H.R. Tirmidzi)

Ilmu Hadits......!!!

1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu hammad.
6. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.

PEMBAHASAN

Ilmu Hadits:

ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak.

Hadits:

Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw, berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah).

Sanad:

Mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan.

Matan:

Perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.

PEMBAGIAN HADITS

Dilihat dari konsekuensi hukumnya:

1. Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
2. Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha’if

Penjelasan:

HADITS SHAHIH:

Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini:

1. Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
2. Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
3. Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
4. Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
5. Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits

Hukum Hadits shahih: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.

HADITS HASAN:

Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan shaduq (tingkatannya berada di bawah tsiqah).

Shaduq: tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.

Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqah.

Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.

HADITS HASAN SHAHIH

Penyebutan istilah Hadits hasan shahih sering disebutkan oleh imam Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat dimaknai dengan 2 pengertian:

* Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
* Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.

HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI

Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim pada kitab shahih mereka masing-masing.

TINGKATAN HADITS SHAHIH

* Hadits muttafaqqun ‘alaihi
* Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
* Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
* Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
* Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
* Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
* Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim

Syarat Bukhari dan Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka.

HADITS DHA’IF

Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan.

Hukum Hadits dha’if: tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dha’if kecuali dengan menyebutkan kedudukan Hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits palsu atau hadits maudhu`. Hadits dha’if itu masih punya sanad kepada Rasulullah SAW, namun di beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya yang kurang etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang hadits.

Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau yang paling lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka istilah yang digunakan adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada jalur sanadnya.

Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, dimana sebagian membolehkan untuk fadha`ilul a`mal. Dan sebagian lagi memang tidak menerimanya. Namun menurut iman An-Nawawi dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan hadits-hadits dha’if dalam fadailul a’mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.

Untuk tahap lanjut tentang ilmu hadits, silakan merujuk pada kitab “Mushthalahul Hadits”

Buat kita orang-orang yang awam dengan ulumul hadits, tentu untuk mengetahui derajat suatu hadits bisa dengan bertanya kepada para ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya kemampuan dan kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits serta menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.

Seorang ahli hadits akan melakukan penelusuran jalur periwayatan setiap hadits ini satu per satu, termasuk riwayat hidup para perawi itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau ada cacat pada dirinya, baik dari sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya (sifat kepribadiannya), maka akan berpengaruh besar kepada nilai derajat hadits yang diriwayatkannya.

Sebuah hadits yang selamat dari semua cacat pada semua jalur perawinya hingga ke Rasulullah SAW, dimana semua perawi itu lolos verifikasi dan dinyatakan sebagai perawi yang tisqah, maka hadits itu dikatakan sehat, atau istilah populernya shahih. Sedikit derajat di bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila ada diantara perawinya yang punya cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai kepada kita melalui jalurnya akan dikatakan lemah atau dha`if.

Para ulama mengatakan bila sebuah hadits lemah dari sisi periwayatannya namun masih tersambung kepada Rasulullah SAW, masih bisa dijadikan dalil untuk bidang fadhailul a`mal, atau keutamaan amal ibadah.

Sedangkan bila sebuah hadits terputus periwayatannya dan tidak sampai jalurnya kepada Rasulullah SAW, maka hadits ini dikatakan putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang semacam ini memang sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan hadits palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali tidak boleh dijadikan dasar hukum dalam Islam.

Untuk mengetahui apakah sebuah hadits itu termasuk shahih atau tidak, bisa dilihat dalam kitab susunan Imam Al-Bukhari yaitu shahih Bukhari atau Imam Muslim yaitu shahih muslim. Untuk hadits-hadits dha’if juga bisa dilihat pada kitab-kitab khusus yang disusun untuk membuat daftar hadits dha’if.

Di masa sekarang ini, para ulama yang berkonsentrasi di bidang hadits banyak yang menuliskannya, seperti karya-karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Di antaranya kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah yang berjumlah 11 jilid.

mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.......waAllahu a'lam

Islam Di Nusantara

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam dengan jalan damai.



Sambungan..

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.WaAllahu a'lam.....

Selayang Pandang ; Syi'ah dan Sejarahnya

Selama ini, mayoritas orang selalu menganggap Syiah bagian dari Islam. Mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia sendiri menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan membingungkan. Ini disebabkan beberapa hal mendasar yaitu kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah, di kalangan mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari hal-hal tersebut, akhirnya orang Islam yang umum meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya.

Tapi sesungguhnya ada perbedaan antara Syiah dan Islam. Bisa dikatakan, Islam dengan Syiah serupa tapi tak sama. Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi—terutama dari segi aqidah—perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.

Asal-usul Syi’ah

Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.

Abdullah bi Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad saw seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw. Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bi Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).

Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.

Pada periode abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syiah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syiah bahkan menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.

Perkembangan Syiah

Bertahun-tahun lamanya gerakan Syiah hanya berputar di Iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah merembes ke berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.

Perkembangan Syi’ah, yaitu gerakan yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait ini memang cukup pesat, terlebih di kalangan masyarakat yang umumnya adalah awam dalam soal keagamaan, menjadi lahan empuk bagi gerakan-gerakan aliran sempalan untuk menggaet mereka menjadi sebuah komunitas, kelompok dan jama’ahnya.

Doktrin Taqiyah

Untuk menghalangi perkembangan Syi’ah sangatlah sulit. Hal itu dikarenakan Syi’ah membuat doktrin dan ajaran yang disebut “taqiya.” Apa itu taqiyah? Taqiyah adalah konsep Syiah dimana mereka diperbolehkan memutarbalikkan fakta (berbohong) untuk menutupi kesesatannya dan mengutarakan sesuatu yang tidak diyakininya. Konsep taqiya ini diambil dari riwayat Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq a.s., beliau berkata: “Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak dianggap beragama bila tidak bertaqiyah.” (Al-Kaafi, jus II, h. 219).

Jadi sudah jelas bahwa Syi’ah mewajibkan konsep taqiyah kepada pengikutnya. Seorang Syi’ah wajib bertaqiyah di depan siapa saja, baik orang mukmin yang bukan alirannya maupun orang kafir atau ketika kalah beradu argumentasi, terancam keselamatannya serta di saat dalam kondisi minoritas. Dalam keadaan minoritas dan terpojok, para tokoh Syi’ah memerintahkan untuk meningkatkan taqiyah kepada pengikutnya agar menyatu dengan kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, berangkat Jum’at di masjidnya dan tidak menampakkan permusuhan. Inilah kecanggihan dan kemujaraban konsep taqiyah, sehingga sangat sulit untuk melacak apalagi membendung gerakan mereka.

Padahal, arti taqiyah menurut pemahaman para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, taqiyah tidaklah wajib hukumnya, melainkan mubah, itupun dalam kondisi ketika menghadapi kaum musrikin demi menjaga keselamatan jiwanya dari siksaan yang akan menimpanya, atau dipaksa untuk kafir dan taqiyah ini merupakan pilihan terakhir karena tidak ada jalan lain.

Doktrin taqiyah dalam ajaran Syi’ah merupakan strategi yang sangat hebat untuk mengembangkan pahamnya, serta untuk menghadapi kalangan Ahli Sunnah, hingga sangat sukar untuk diketahui gerakan mereka dan kesesatannya.

Kesesatan-kesesatan Syiah

Di kalangan Syiah, terkenal klaim 12 Imam atau sering pula disebut “Ahlul Bait” Rasulullah Muhammad saw; penganutnya mendakwa hanya dirinya atau golongannya yang mencintai dan mengikuti Ahlul Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam ajaran agamanya, diperintahkan untuk mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul Bait. Padahal para imam Ahlul Bait berlepas diri dari tuduhan dan anggapan mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait (Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi faham Syi’ah, seperti mantan Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad, dalam bukunya “Uqud Al-Almas.”

Adapun beberapa kesesatan Syiah yang telah nyata adalah:

1. Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
2. Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
5. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri karena keyakinan tersebut.
6. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
7. Keyakinan mencaci maki ara sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).
8. Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.

Saat ini figur-figur Syiah begitu terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda Islam, karena pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika dan filsafat. Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah bersepakat adanya bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat. waAllahu a'lam,,,,!!!!

Rujukan:

1. Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, "Dirasat fil Ahwaa’ wal firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minha."
2. Drs. KH. Dawam Anwar dkk. "Mengapa kita menolak Syi’ah."
3. Abdullah bin Said Al Junaid, "Perbandingan antara Sunnah dan Syi’ah. "
4. Dan lain-lain, kitab-kitab karangan orang Syi’ah.
5. Beberapa situs dan blog pribadi

Sabtu, 26 Juni 2010

Manusia Bersembunyi di Bawah Lidah

“Dari Abi Hurairah R.A.. bahwa Rasul SAW bersabda,,:,”Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir,, Hendaklah ia berkata baik atau diam…….. ……..
(al-hadits : H.R.”Bukhari danMuslim) dalam kitab Matan Arb’iin An-Nawawiyah hadits ke-10:12.

……”Harga penampilan itu terletak pada pakaian yang dikenakan… dan sedangkan harga diri seseorang itu terletak pada lidahnya…(kata ahli hikmah)”

Nilai manusia itu dapat diketahui dari pembicaraannya, Karena pembicaraan setiap orang menunjukkan pikiran dan tabiatnya,dan dengan itu perasaan dan tempramennya dapat diketahui dengan sangat mudah. Oleh karena itu,maka selama kita berdiam diri,kekurangan maupun kelebihan kita akan tersembunyi,tetapi ketika kita berbicara maka jiwa kita yang sesungguhnya akan terwujud dengan sendirinya. Apabila kita ndak berbicara,maka orang lain ndak kan mengetahui nilai dan harga kita.hehhe….!!

Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa :”Manusia tersembunyi dibawah lidahnya.”

Ya,,,,, !! manusia tersembunyi di bawah lidahnya.Artinya apa??,,, bahwa jiwa manusia itu bisa dilihat,dibaca, dan dinilai dari lisannya. Karena pribahasa kuno / “kata-kata hikmah” ndak kan pernah lahir mana kala tidak mencerminkan kenyataannya,,, seperti… “Tong Kosong Berbunyi nNyaring” Orang yang banyak berbicara, biasanya hanya mengungkapkan banyak omong kosong belaka,, alias banyak basa basinya, hehhe.. tau kata-kata hikmah “kuno” lainnya,,, “Diam itu lebih baik daripada emas”_ ini pun merupakan kata-kata hikmah yang menggambarkan seseorang yang hidup dengan memiliki kearifan-kearifan diri. Orang yang demikian ini tahu dan sadar kapan ia harus berbicara dan kapan ia harus diam.. Mereka-mereka ini tau apa yang mesti dibicarakan dan apa yang mesti di diamkan.Lidah tidak di biarkan mengucapakan kata-kata yang tidak berarti,kurang berarti,jorok,jabul, dan segala omong kosong lainnya,, Lidah di sucikan dari keburukan-keburukan ucapan, ini bukan berarti mereka tidak bisa berkata omong kosong,jorok-jorok, atau cabul-cabul,,, Mereka bisa melakukan itu,,,.

Tetapi untuk apa?? Untuk apa mengeluarkan kata-kata yang tidak bermakna?? Untuk apa menghamburakan kata-kata yang justru hanya akan mencerminkan keadaan jiwa yang buruk,mesum dan jahil serta ntah apalagi sebutannya!!!!!!!..

Tetapi lihatlah,,, dengarlah,, dan renungkanlah kebiasaan dari sebagian kita,,, Dalam banyak pertemuan dan kesempatan,, kata-kata yang tidak bermakna dan bermanfaat berhamburan bagai serpihan-serpihan dedaunan kering yang digulung badai. Canda tawa dilakukan dengan berlebih-lebihan. Orang-orang semakin merasa puas manakala semakin bisa banyak berkata-kata dan semakin banyak bicara. Tak jarang, siapa saja yang sanggup secara terang-terangan berkata jorok maka dialah yang diberikan kesempatan untuk banyak berkata-kata.

Aduhaiiiiiii………!!!!!!!!!!!! Sampai kapaaaaaaaaaan!!?????? Sampai kapan, lidah kita gunakan untuk ucapan dan hal-hal seperti itu…..??

Apa yang ada di pikiran orang tentang kita, itu tidak kita ketahui,, orang akan begitu mudah menjustifikasi kita seperti apa yang kita katakan itu,,,, missaaal”””””!! Bila kita sering berkata cabul,, maka kita akan diangaap dan di cap sebagai pencabul…. Ya!!!!!! Walaupun kita bukanlah tipologi pencabul.. atau bila kita suka berbasa basi,, orang akan sulit menanggapi kita dengan serius,, sebab basa basi biasanya dihadapi dengan basa basi pula. Bila kita suka bercanda.. terutama dengan canda yang berlebihan, maka orang akan menilai kita sebagai orang yang tidak pernah serius pula. Kalaupun kita tengah serius, orang akan menaggapi bahwa kita tengah bercanda..

Tetapi,,, bila kita sanggup menjaga lisan kita dari perkatan-perkataan yang tidak bermakna dan cenderung bersyahwat, orang lain akan merasa segan dengan kita,,Orang akan meyakini kita sebagi seseorang yang sanggup menjaga lidah dan rahasia… kata-kata kita akan didengar mereka. Dan kita sendiri akan mendapati sebagai pemilik jiwa yang berbahagiaaa!!! Pada saat inilah, cahaya ketuhanan akan semakin memenuhi rongga dada kita,,,. Hikmah – hikmah akan mudah masuk membashi jiwa kita..Hati akan tersingkap dan nurani kita akan menjadi pemandu jalan hidup kita…

Tapi semua itu kembali pada kebiasaan kita masing-masing,, apa yang sering kita lakukan dan ucapkan maka hal itu pula yang akan sering kita lakukan dan ucapkan,,, ya!!!! Semua itu memang bisa berubah,,, tapi kan perlu proses,, dan prosenya ini akan membuat badan dan lidah menjadi panas dingin bila kita ndak terbiasa,,,, hehheheheee…..!!!! mudah-mudahan kita bisa menjadi orang-orang yang dikisahkan dalam (Q.S.Al-Imran[3]:190-191) sehingga walaupun kita diam,, diamnya kita menjadi dan membawa rahmat,, baik bagi kehidupan kita sendiri maupun orang lain,,,,,,

WaAllahu A’lam
Samudra.. 27 juni 2010

Dengar dan Majulah

“Kamu suruh seseorang (manusia) tuk berbuat kebaikan tapi kamu malah melupakan diri kamu sendiri, sedangkan kamu membaca Kitab,, tidakkkah kamu memikirkan??... begitulah kira-kira sekilas pemahaman yang terdapat dalam (Q.S.Al-baqrah[2]: 44).

Hal apakah yang paling disukai oleh banyak orang teradap orang lain?? Bicara,,, ya berbicara merupakan salah satu yang paling banyak disukai oleh kebanyakan orang. Orang lebih suka berbicara daripada mendengaarkan. Orang juga lebih suka mengugkapkan identitas dirinya terutama yang baik-baik daripada mendengarkan orang lain menyebutkan dan mengemukkan identitasnya. Jika seseorang diberi kesempatan untuk memberikan motivasi, maka ramai-ramai orang akan bisa memberikan kalimat yang panjang yang berisi tentang pemberian nasehat dan motivasi kepada orang lain.

Kita dapat melihat hal tersebut dalam kehidupan kita sehari hari. Misalnya.. ada orang yang tengah di timpa takdir kematian. Bila ada tetangga kita yang ditinggal mati oleh salah satu keluarganya,, maka tetangga-tetangga kita dan bahkan kita sibuk memberikan kalimat – kalimat yang berisi semangat,motivasi dan juga sibuk memberikan dorongan serta menanamkan kesabaran kepada orang yang ditimpa musibah takdir kematian tersebut.Kita mungkin dan seolah sedang lupa bahwa ketika orangtua atau saudara kita sendiri yang meninggal, belum tentu kita sekuat tetangga yang kita nasehati tersebut.

Hehhe,,,,. Jika seeorang (kita) memiliki waktu dan kesempatan untuk memberikan kritikan kepada orang lain. Maka kita dengan serta merta memberikan kritikan kepada orang tersebut. Bahkan kalau perlu orang tersebut dikritik dengan sekeras kerasnya.

Kita seolah lupa,, bahwa orang yang kita kritik itu juga memiliki perasaan, pikiran, dan hati?? Tidak sadarkah kita , bahwa betapapun seeorang itu melakukan kesalahan, ia tetap manusia yang memiliki kehormatan dan harga diri,, tidakkaah kita kasihan kepada orang tersebut kita kritik di tempat terbuka.

Bagaimana jika yang dikritik itu adalah kita?? Bagaimana jika didepan umum ada orang yang menjelek-jelekkan kita atau mengkritik kita??.. hehheh…. tentu kita dengan mudah dapat menjawabnya.... Yaaa,, lihat-lihat kesalahannya laaaaaah,,,.!!!!

Maka jangan kita salahkan jika ada seseorang yang membenci kita,, sebab siapa tahu orang tersebut membenci kita Karena kita yang telah terlebih dahulu menanamkan kebencian kepada orang tersebut.,,,,

Heheh,,, bicara,, ya berbicara itu memmang mudah, mencari – cari kesalahan dan kekurangan orang lain pun merupakan sesuatu yang sangat mudah untuk dilakukan. Mengkritik seseorang pun pada taraf tertentu merupakan sesuatu yang mudah tuk dilakukan. Terkadang malah mungkin kita melihat seseorang mengkritik orang lain tanpa ada yang menyuruhnya. Sering terjadi pula,, seseorang dengan tiba-tiba ingin berbicara tentang sesuatu yang padahal belum tentu orang lain akan suka mendengarnya,.

Imam Ali bin abi Thalib pernah mengatakan bahwa “Orang yang merasa puas dengan dirinya(menyebabkan) banyak oreng yang marah dan tidak puas dengannya”

Duhai sahabat,,,,,!!!!

Setelah sekian lama kita banyak berbicara, sekaranglah saatnya kita untuk banyak mendengar. Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa kekatuan berbicara itu memang dahsyat,, sejarah banyak di warnai oleh orang- orang yang fasih dalam berbicara.Untuk sekedar contoh,, kehebatan berbicara telah membesarkan nama Georgias, Protogoras, Plato dan Aristoteles di zaman Yunani Kuno, juga Ciero di Romawi Kuno atau juga Oliover Cromwell di abad 17 hingga Hitler Musolii di abad yang baru lalu. Kekuatan kata-kata juga tercermin pada diri Muhammad SAW dan para sahabatnya. Pendeknya sejarah telah banyak di warnai oleh orang-orang yang fasih dalam berbicara.

Sebesar kekuatan berbicara sebesar itu pula kekuatan mendengar. Bahkan seorang motivator ulung “Dale Carnege” menulis bab khusus dalam salah satu bukunya tentang perlunya kita banyak mendengar daripada banyak berbicara… Oleh karena itu, sudah saatnya kita belajar untuk mendengarkan orang lain,,,mendengarkan pendapatya, mendengarkan masukan-masukannya,, juga mendengarkan kritikan-kritikanya, terhadap kita.

Disaat yang sama kita akan bisa menemukan orang-orang yang memiliki kemampuan dan wawasan yang lebih baik dari kita. Untuk itu, kita harus memberikan kesempatan pada pendengaran kita untuk mendengrakan pembicaraanya,, hehhe,,,,,,,,,, hal ini bukan berarti kita disebut sebagai “pengupieng” tapi yang kita dengarkan adalah sesuatu yang dapat menembah dan meningkatkan wawasan terahadap agam ini lebuh baik lagi. Sebab dengan mendengar kita bisa banyak mengerti,mengetahui dan memahami ide dan gagasanya yang belum kita miliki.

Termasuk juga mendengarkan adalah membaca dan mempelajari pikiran-pikiran yang di tulis dalam buku,majalah, atau terbitan-terbitan yang lain. Kita baca pikiran-pikiran yang ada di sana, lalu kita ambil hikmahnya serta kemudian kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita,,, tentunya yang baik dan benar.

Terakhir yang sangat penting adalah.. kita belajar untuk mendengarkan suara hati nurani kita, kita jadikan hati nurani sebagi pembimbing, petunjuk, penolong dan pemotivasi yang diberikan oleh Allah SWT,,, pada diri kita.

Caranya????

Sering- seringlah kita berdialog dengan hati, kita aktifkan radar hati kita, dan bertanya jawablah kita dengannya.Tatkala kita sedang mengalami keraguan dan kebimbangan, janganalah kita berhenti pada jeritan hati saja, tapi kita lanjutkan dengan merenungkan dalam-dalam masalah yang sedang kita ragukan dan bimbangkan itu, kita berdialog dengan Allah SWT melalui Qur'an,,,, kita bertanya pada orang yang lebih mengetahui dari kita tentag hal tersebut,,,, dalam hal ini bukan berarti kita harus pergi ke "dukun" hehheehheheh.......Naaaaah,, Pada saat nurani kita (hati) membisikkan jalan yang kita tempuh… lalu kita ambil jalan itu dan yakinilah,,, memang hal itu tak semudah yang kita bayangkan,, karena hanya hati yang suci dan bersih dari noda dan dosa yang bisa membimbing kita pada kebenaran,,,

Kita sudah banyak berbicara dan kita juga sudah banyak mendengarkan,, sekaranglah saatnya kita bangkit dan maju,,, jangan sampai kita menjadi orang-orang yang di “sindir’ dalam (Q.S.al-Baqarah[2]:44) diatas tadi.. jangan sampai kita menjadi orang-orang yang banyak berbicara (menashati,memotivasi oranglain) tapi malah kita lupa terhadap diri kita sendiri.. memang siich…!! Berbicara itu sangat mudah tuk dilakukan dan pada taraf tertentu baru akan sulit dan sukar tuk di lakukan,,,hehhehe….

Ya kan??

Hehehe,,,, Banyak orang yang dengan mudahya “mengejek” atau “menyepelekan” orang lain , tapi ketika ia (org tersebut) di suruh tuk melakukan hal yang sama,seperti apa yang telah dilakukan dan perbuat oleh orang yang ia “ejek” tadi,, belum tentu ia bisa melakukannya,, dan malah yang parahnya ia keluarkan berbagai macam dalih, argument,alasan dan ntah apa lagi yang lainya..tuk membela dirinya, yang jelas sudah salah,, hal ini yang mestinya kita hindari, tapi amat di sayangkan hal ini banyak terjadi dan dapat kita saksikan dalam dunia pendidikan kiat saat ini…yang banyak di”penuhi oleh orang-orang yang meneyepelekan orang lain, huuuuf!!!!.

Duhai sahabat,,,…..!!!!!!

Sekaranglaah saatnya kita bangkit dan maju,, bangkit dari rasa malas dan maju menyingkirkan rasa sombong alais “sok tau”. Kita jadikan diri kita sebagai orang yang baik dan benar sehingga kita bisa menjadi dan merasakan kebahagiaan dalam jiwa kita. Dan sehingga kita juga bisa menjadi orang-orang yang yakin (berkeyakinan) terhadap suatu kebaikan serta kita juga bisa membuktikan apa yang kita yakini dari kebikan itu dengan perbuatan nyata.

Soooo..!!!!! Keep your mind,, with your actions!!!! And surely you will succeed………………^_^

WaAllahu a’lam
Samudra,,27 juni 2010