Sabtu, 10 April 2010

Ahlusunah : Salaf dan Khalaf

BAB I
PENDAHULUAN


Alus sunnah adalah kepercayaan ahlus salaf (sama dengan kepercayaan para pendahulu) yang bersandar kepada rasulullah saw. Sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia (baik) sampai hari kiamat.
Ahlussunah terbagi menjadi dua yaitu :
1. Salaf
Salaf artinta ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i dan tabi’ tabi’in para pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya.

2. Khalaf
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk poara ulama yang terlahir setelah abad ke-3 H dengan karakteristik yang berteolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Diantaranya tentang penakwilan sifat-sifat tuhan serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya .
Untuk lebih jelas, pemakalah menguraikan pembahasan pada bab selanjutnya.










BAB II
PEMBAHASAN

Ahlusunnah yaitu kepercayaan Ahlus salaf (sama dengan kepercayan para pendahulu) yang bersandar kepada Rasulullah SAW, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia(baik) sampai hari kiamat.
Ahlusunnah menetapkan sifat-sifat Dzaziah kepada Allah, yaitu kuadrah (kekuasaan). Iradah (kehendak), ilmu (pengetahuan), hayat (hidup), sama’(pendengaran), bashar(penglihatan), dan kalam(firman).

Keistimewaan Ahlus sunnah :
a. Bahwa sesungguhnya mereka tidak meniadakan sifat-sifat Allah yang telah disifatkan oleh-Nya, dan tidak mengajukan pertanyaan “bagaimana itu” dan tidak menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
b. Bahwa mereka beri’tikad (berkeyakinan) bahwa Allah SWT tidak ada yang melebihi, tidak dapat disaingi dan tidak bisa diukur dengan makhluk-Nya.
c. Dan Alus sunnah mereka tidak menyimpang dari apa yang dibawa para Rasul dari hadirat Tuhan seru sekalian alam.
d. Pendapat dalam penetapan sifat terhadap Allah SWT, bagi Ahlus sunnah, seperti pendapat mereka tentang dzat Allah yang berbeda dari makhluk-Nya.
e. Sifat-sifat Allah dalam al-Quran banyak sekali, begitu pula dalam sunnah rasul Saw, kesempurnaan-Nya tidak terbatas dan hakikat-Nya tidak bisa dicapai oleh akal manusia. Untuk itu, Ahlus sunnah terbagi dua yaitu :





1. SALAF ( IBN HANBAL DAN IBN TAIMIYAH )

Banyak beragam defenisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai defenisi salaf dan khalaf. Berikut ini akan dikemukakan beberapa diantaranya. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’tabi’in, para pemuka abad ke-3 dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat murasabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anhorpomorphisme) . Sedangkan Mahmud Al-Bisbisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah mendefinisakan salaf sebagai sahabat, tabi’in, tabi’tabi’in, yang mengetahaui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengaggungkan-Nya.
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan Salafiyah berkembang-terutama- di Baghdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerussalem dan Damaskus. Di Damaskus kaum kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harram, yaitu keluarga Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah adalah seorang ulama besar penganut Imam Hanbali yang ketat.



Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf salafiah sebagai berikut :
1.mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) dari pada dirayah (aql).
2.Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persolan cabang agama (furu’ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
3.Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham antromorphisme.
4.Mereka memahami ayat-ayat al-Quran sesuai makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Apabila terlihat karakteristik yang ditemukan Ibrahim Madzkir diatas, tokoh-tokoh berikut ini dapat dikatagorikan sebagai ulama salaf yaitu Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin Abd Al-Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja’far Ash-Shadiq (141 H), dan para imam madzhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal). Menurut Harun Nasution, secara kronologi salafiyah bermula dari imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia secara sporadis. Di Indonesia sediri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai ulama salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara, itu para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).


Di bawah ini dijelaskan beberapa ulama salaf dengan beberapa pemikirannya, terutama yang berkaitan dengan persolan-persoalan kalam.
A.IMAM AHMAD BIN HANBALI
1.Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun,ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadilah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun, ia telah memberi pendidikan Al-Quran kepada Ibn Hanbal. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di khufah, Bashrah,Yaman, Mekah, dan Madinah. Diantara guru-gurunya ialah Hamad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Abd Razaq bin Human, dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadis, tafsir,kalam, ushul, dan bahasa Arab.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari ia berpusa dan hanya tidur sebentar di malam hari. Ia juga dekenal sebagai seorang dermawan. Pada suatu hari khalifah Makmum Ar-Rasyid membagi-bagikan beberapa keping emas kepada para ulama Hadis, yang telah menjadi kebiasaan para khalifah masa itu. Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan, Syaikh Abdul Razaq, salah seorang gurunya menengoknya ketika Ibn Hanbal sedang berada dalam kesulitan keuangan di Yaman. Syaikh Abdul Razaq mengambil segenggam dinar dari kantonya dan memberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi justru Ibn Hanbal mengatakan, “saya tidak membutuhkannya.”
Karena begitu teguh dalam pendirian, ketika khalifah Al-Makmum mengembangkan madzhab Mu’tazilah. Ibn Hanbal menjadi korban militan (inquistition) karena tidak mengakui bahwa al-Quran itu makhluk. Akibatnya, beberapa kali ia harus masuk penjara. Nasib serupa dialaminya pada masa pemerintahan pengganti Al-Makmum, yakni Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Namun, setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Diatara murid-murid Ibn Hanbal ialah Ibn Taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Dunia, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal Bin Ishaq Asy Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibnu Hanbal.



2.Pemikiran Teori Ibn Hanbal
a.Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdz (tektual) dari pada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat berikut.
اَلرَّحْمنُ عَلَى الَْعرْشِ اسْتَوى {طه : ه}
Artinya : “yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam diatas Arasy”(Q.S.Thaha [20]: 5)

Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab :
إِستوى على العرش كيف شاء وكما شَآ ءَ بِلاَ حَدٍّ وَلاَصِفَةٍ يُبْلُغَا وَصِفٌ.
Artinya :
“Istiwa di atas Arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifati-Nya.”
Dan ketika ditanya tentang makna Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadis tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab:

نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّ قُهَا ولاَكَيْفَ ولاَمَعْنىَ.

Artinya : “kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerhkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadis mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menyucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.

b.Tentang Status Al-quran
Salah satu persoalan teologis yang menghadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipelajari beberapa kali, adalah tentang status Al-Quran, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim ? faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Diniasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsq, adalah faham Mu’tazilah, yakni Al-Quran tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Fhaam adanya qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Quran dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak.
Ishaq :Apa pendapatmu tentang Al-Quran ?
Ibn Hanbal :sabda Tuhan
Ishaq :Apakah ia diciptakan ?
Ibn Hanbal :Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu Melihat(basir)? (Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang gaham antrimophisme).
Ibn Hanbal :Tuhab menyifati diri-Nya (dengan kata-kata ini)
Ishaq :Apa artinya ?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan pada diri-Nya.

Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Quran. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Quran tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikira yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya.

B.IBN TAIMIYAH

1.Riwayat Singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Al-Halim bin Taimiyah.dilahirkan di Harran pada senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal thaun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir,serta kaum muslim pada umumnya. Ayahnya bernama Syuhabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Timiyah,seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madzkur bahwa Ibn Taimiyah meerupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang membersihkan ruang gerak leleuasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara’ dan zuhud. Serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Selain ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritiknya ditujukan pula kepada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya. Berualngkali Ibn Taimiyah masuk penjara hanya karena sengketa dengan para ulama sezamannya.
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan megenai masalah hukum secara resmi. Para ulama yang merasa sangat risau oleh serangan-serangan serta iri hati terhadap kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawa-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klonik,antromorphisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Bagdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh karena itu, dalam upayanya mempersatukan umat Islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.

2.Pemikiran Teologi Ibn Taimiyah

Pikiran-pikiran Ibn Taimiyah, seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut.
a.Sangat berpegang teguh pada nas (teks Al-Quran dan Al-Hadits)
b.Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal,
c.Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama,
d.Di dalam Islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’I tabi’in),
e.Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.

Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula.
Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualitas. Oleh sebab itu, pandangannya dianggap oleh ulama madzhab Hanbal, Al-Khatib Ibn Al-Jauzi, sebagai pandangan tajsim(antromorphisme) Allah, yakni menyerupakan Allah, dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimaiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.

Berikut ini merupakan pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.
a.Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati.sifat-sifat yang dimaksud adalah :

1.Sifat Salafiyah, yaitu qidam, baqa, mutakhalafatuhu lil hawadits, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyah.
2.Sifat ma’ni, yaitu qudrah, iradah, sama’, bashar, hayat, ilmu dan kalam.
3.Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Quran dan Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah di atas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang-orang beriman di surga kelak; wajah, tangan dan mata Allah.
4.Sifat dhafiyah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, seperti rabb al-amin, khaliq al-kaum dan falik al-hubb wa al-nawa.

b.Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal; al-akhir; azh-zahir, al-bathi, al-alim, a;-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.

c.Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan :
1.tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz (min ghair tahrif).
2.tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghair ta’thil)
3.tidak mengingkarinya (min ghair ilhad).
4.tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghair takyif al-takyif).
5.tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-Nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.

Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan , tidak menyerupai-Nya denga makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang-Nya.
Ibn Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu: Allah pencipta segala bentuk; Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya; Allah meridhai perbuatan baik dan tidak meridhai perbuatan buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaknya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teilogi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhannya yang mutlak. Oleh sebab itu, masalah Tuhan ,katanya tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi. Juga bahwa keinginan mistis manusia untuk menyatukan Tuhan adalah suatu yang mustahil. Oleh karena itu Ibn Taimiyah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Quran berisi dalil khitabi dan iqna’I (penerang dan pemuas hati); Aliran Mu’tazilah yang selalu mendahulukan dalil rasional dari pada dalil Al-Quran, sehingga banyak menggunakan ta’wil; ulama mempercayai dalil-dalil Al-Quran tetapi hanya dijadikan sebagai pangkal penyelidikan akal, meskipun untuk memperkuat isi Al-Quran, seperti Al-Maturidzi. Mereka yang mempercayai dalil-dalil Al-Quran tetapi menggunakan pula dalil-dalil akal di samping Al-Quran (seperti Asy-Asy’ari).

2.KHALAF AHLUSSUNNAH ( AL-ASY’ARY DAN AL-MATHRUDI )
Kata Khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya adalah tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazillah - sebagaimana juga Asy’ariyah-masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah . Harun Nasution-dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah-menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.

A.AL-ASY’ARI
1.Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Al-Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia berhijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli Hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibn Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’I (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selama itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya samapai ia berusia 40 ahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jamaah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakun Al-Asy’ari telah bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela yang telah diriwayatkan dari beliau.

2.Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara fomulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortidoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reajsionis terhadap Mu’tazilah. Sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w. 854 M).
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikuit ini.
a.Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Disatu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiyahnya. Dilain pihak ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain dari esensi-Nya. Adapun tangan,kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu. Seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah,melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asr’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat Allah sendiri, tetapi- sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.

b.Kebebasan dalam Berkehendak(free-Will)
` Dalam hal ini apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (mukhtasib. Hanya Allah-lah yang mampu mencipatakan segala sesuatu 9termasuk keinginan manusia).

c.Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam mengahadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mangutamakan wahyu sedangkan Mu’tazilah mengutamakan akal.

d.Qadimnya Al-Quran
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Quran. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Quran diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan madzhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Quran bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat :
اِنّمَا قَوْ لُنَا لِشَيْ ءٍ اذَا أ ر دْ نَهُ أنْ نَقُوْ ل لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ { النحل : .ع }

Atinya : “jika kami menghendaki sesuatu. Kami bersabda. “terjadilah” maka ia pun terjadi.”

e.Malihat Allah
Al-Asy’Ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemanyam di Arsy. Selain itu, tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan manusia untuk melihat-Nya.

f.Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harud menyiksa orang yang berbuat salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik . menurutnya, Allah tidak memiliki kaharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.

g.Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat keyataaan bahwa iman meerupakan lawan kafir, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antara keduanya. jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik , sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain dosa kufr.





B.AL-MATURIDI
1.Riwayat Singkat Al-Muturidi.
Abu Manshur Al-Matudiri di Maturid, sebuah kota kecil di daerah samarked, wilayah Trsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke -3 Hijiriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.)Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyrbin Yahya Al-Balakhi.Ia wafat pada tahun 268 H. Al-maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakili yang memerintahkan tahun 232-274/847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandanya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikiranya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, di antaranya ialah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Quran Makhaz Asy-Syara’i Al-Jadl Ushul fi Ushul Ad-Din Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdilah li Al Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahi, Radd

2.Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a.Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari Namun porsi yang diberikanya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asyari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaa-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukanya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebu. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itusendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan baik buruknya sesuatu.ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik buruknya sesuatu. Dalam kondisi ,wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.”
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam,yaitu :
1.Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2.Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3.Akal tidak mengetahui kebaikan ke keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

Tentang megetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini,Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini,Al-Matudiri berada pada posisi tengah dari M’tazilah dan Al-Asy ari.

b.Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenaia perbuatan manusia, kebijakan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampauan berbuat(ikhtiar)agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.Dalam hal ini, Al-Muturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya ( kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainy. Daya-daya tersebut diciptakan bersama dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertangan anatar qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan iktiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanafiah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetap ia dapat memilih yang dirinya-Nya atau yang tidak diridai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk
Juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, berarti manusia dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.

c.Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan.Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

d.Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat,seperti sama bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari.Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi Nya dan bukan pula lain dari esensinya.Sifat-sifat Tuhan itu muzamah (ada bersama, baca: inheren)dzat tanpa terpisah (innaha lam lakun ain ad-adzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian anthropomorhisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilangnya yang qadim (taadud al-qudama).
Tampaknya faham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

e.Melihat Tuhan
Al-Marturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan
Hal ini diberitakan oleh Al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia inmaterial. Namun melihat Tuhan kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa) karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f.Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca: sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah bahura (hadis). Al-Quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan bersifat kekal. Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka mengenakan istilah hadis sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Quran. Dalam konteks ini. Pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam menurut Al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.

g.Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan,Kecuali karena hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat ash-shalat oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat ash salah wa al(yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap pembuatan yang bersifat menciptakan atau kewajiban-kewajiban yang dibedakan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya kewajiban-kewajiban tersebut antara lain :
1.Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatanya.
2.Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

h.Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibedakan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainya dari syariat yang dibedakan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-Maturidi, akan memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jdi pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membedakan sesuatu yang berada di luar kemampuan nya kepada akalnya.
Pandangan Al- Maturidi ini tidak jauh berbeda pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.

i.Pelaku Dosa Besar ( Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selam syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka.oleh karena itu perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seorang kafir atau murtad.Menurut Al-Maturidi, iman cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.




BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Ahlus sunnah menimbang semua yang dipegang oleh umat baik berupa ucapan maupun perbuatan lahir maupun bathin. Yang mempunyai hubungan dengan Agama sumbernya dari tiga pokok ini :
Al-Quran,As-Sunnah. Dan Al-ijmak.
Al-Ijmak yang kuat kebenaranya ialah yang dilakukan oleh ulama salaf yang shaleh.sebab sesudah generasi itu terdapat banyak perselisihan, Umat telah tersebar dan berbeda-beda pendapat serta mazhab-mazhab.Waallahu a'lam....



















DAFTAR PUSTAKA



-Wahhab, Muhammad Bin Abdul.1987.Bersihkan Tauhid Anda Dari Noda Syirik. Surabaya :PT Bina Ilmu.
Asy-Syahrastany, Al-Mikad wa An-Nihal. Dar Al-Fikr, Beirut, .tt, hlm. 92-93.
Abubakar Aceh, Salaf : Islam dalam Masa Murni, Ramadhani, Soko, 1986,

Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama Tantang Ayat-ayat Mutasyabihat, Sinar Baru, Bandung. 1993.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986,
Ahmad Hanafi,Pengantar Theologi Islam, Penerbit Al-Husna, Jakarta, 1992.
Jalal Muhammad Musa, Nasy’at Al-Asy’irah wa Tathawwauruha, Dar Al-Kitab Al-Lukman Beirut, 1975,
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Al-Misriyah, Kairo, 1946,
Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Stahrastani, Al-Milal wa An-nihal. Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1990,
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1972,
Abd Al-Qadir bin Thahir bin Muhammad A-bagdadi, Al-Faraq. Mesir,

1 komentar:

  1. boleh x jelaskan lagi mengenai akal dan wahyu menurut pandangan asya'irah?

    BalasHapus