Rabu, 19 Mei 2010

Waqaf yang boleh di Jual atau di Tukar

PENDAHULUAN

Dewasa ini kondisi ummat Islam masih lemah secara ekonomi. Secara kasat mata hal ini dapat diketahui dari kondisi riil kaum muslimin di berbagai belahan bumi dan pada akhirnya secara umum dapat disimpulkan bahwa sinyalemen tersebut memang benar adanya. Sebagai contoh, hampir sebagaian besar negara-negara miskin, adalah negara yang berpunduduk muslim. Baberapa negara Islam kaya di timur Tengah, misalnya ternyata tidak cukup untuk menghapus kesan kemiskinan umat Islam pada umumnya.
Ummat Islam Indonesia tentunya tidak bisa dikecualikan dari fenomena kemiskinan tersebut. Yang memprihatinkan adalah ketika kita mengetahui bahwa ummat Islam adalah mayoritas di negeri ini. Bukankah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemiskinan ummat Islam tersebut juga menjadi potret kemiskinan bangsa. Maraknya berbagai bencana yang melanda ‘negeri sejuta pulau’ ini tampaknya juga semakin memperparah kondisi tersebut.
Pada saat demikian inilah pada akhirnya mengharuskan ummat Islam untuk menelaah dan mengkaji lagi tentang hubungan ajaran agama dengan salah satu problem pokok kehidupan terkini, yaitu kemiskinan tersebut. Kajaian ini diawali dengan sebuah pertanyaan mendasar, sejauhmana kontribusi ajaran Islam dalam memecahkan problem kemiskinan tersebut. Pertanyaan tersebut penting, sebab secara tekstual banyak ajaran-ajaran Islam yang menjanjikan kesejahteraan hidup setiap orang beriman, tidak saja di akhirat tetapi juga di dunia. Pertanyaan berikut, kalau demikian, mengapa terjadi kesenjangan apa yang seharusnya ( das Sollen ) dengan kenyataan ( das Sein )? Di mana letak kesalahannya?
Salah satu aspek ajaran agama yang perlu mendapat kajian tersebut adalah ajaran Wakaf. Lembaga agama ini di samping secara tekstual telah lebih 15 abad disyari’atkan juga diharapkan mampu “menghapus” kemiskinan ummat Islam. Mengapa?. Sebagaimana tercatat dalam sajarah, lembaga ini pada abad ke 8 dan 9 Hijriyah telah mencapai zaman keemasannya. Pada masa itu wakaf meliputi berbagai benda dan di bawah pengawasan dan pembinaan para Sultan.
Tetapi, lembaga inipun kini masih belum bisa diharapkan terlalu banyak untuk mensejahterakan umat Islam. Pada hal kuantitas ummat Islam yang mayoritas, banyaknya ummat Islam yang relatif berhasil secara ekonomi, dan dukungan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan mestinya menjadi potensi bagi tercapainya kesejahteraan ummat Islam, bahkan bangsa Indonesia, melalui lembaga wakaf ini.
Kiranya dalam konteks itulah kita yang hadir di sini perlu untuk mengkaji ulang ajaran wakaf ini. Tulisan berikut secara deskriptif analitik menyajikan pembahasan tersebut dengan mengemukakan pembahasan secara garis besar mengenai sisi akademis dan praktisnya.

PEMBAHASAN
WAKAF YANG BOLEH DIJUAL ATAU DITUKAR
A. Pengertian Wakaf
1. Menurut bahasa
Kata Wakaf berasal dari bahasa Arab waqafa yang menurut bahasa beberti “menahan” atau “berhenti”.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia wakaf diberi arti : tanah negara yang tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas; hadiah atau pemberian yang bersifat suci.
2. Menurut Istilah Fuqaha
Sejak dulu telah terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian wakaf. Dengan demikian memang belum ada satu pengertian mengenai hal itu yang disepakati. Akibat perbedaan dalam memberi pengertian wakaf tersebut pada akhirnya menimbulkan perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan. Bukan sekedar berbeda dalam hal redaksi.
Untuk menambah cakrawala pengetahuan, berikut dikemukakan pengertian wakaf dari para Fuqaha dalam 4 madzhab, yaitu :
a.Menurut Ulama Hanafiyyah
“Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja.”
b.Menurut Ulama Malikiyyah
“Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuik diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewakafkan.”
c.Menurut Ulama Syafi’iyyah
“Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.”
d.Menurut Ulama Hanabilah
“Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”

Dari pengertian yang dikemukakan fukaha tersebut paling tidak dapat ditarik kesimpulan, yaitu :
- bahwa terdapat dua pandangan dalam memberi pengertian wakaf. Dua pengertian tersebut sangat bertolak belakang akibat hukumnya, yaitu menurut ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah di satu pihak dan menurut Ulama Syafiiyyah di pihak lain.
- Pendapat pertama berakibat hukum bahwa benda wakaf tidak mengakibatkan barang yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf dapat mengakibatkan yang diwakafkan keluar dari kepemilikannya.

B. Dasar Hukum Wakaf
Lembaga wakaf merupakan salah satu ajaran yang diyari’atkan. Hal ini dapat diketahui dari adanya dalil, antara lain sebegai berikut :
1. Al Qur’an
a. Surat Al Baqarah ayat 267

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah ( di jalan Allah )sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya pada hal kamu sendiri tidak mau memgambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

b. Surat Ali Imran ayat 92
عَلِيمٌ بِهِ اللَّهَ فَإِنَّ شَيْءٍ مِنْ تُنْفِقُوا وَمَا تُحِبُّونَ مِمَّا تُنْفِقُوا حَتَّى الْبِرَّ تَنَالُوا لَنْ
Artinya : “Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ) sebelum kamu manafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
c. Surat Al Maidah ayat 2
وَالتَّقْوَى الْبِرِّ عَلَى وَتَعَاوَنُوا
Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebajikan dan ketaqwaan.”




d.Surat Al Hajj ayat 77
وَافْعَلُوا رَبَّكُمْ وَاعْبُدُوا وَاسْجُدُوا ارْكَعُوا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا تُفْلِحُونَ لَعَلَّكُمْ الْخَيْرَ
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan.
C. Macam-Muacam Wakaf
Dalam kitab-kitab fikih dikupas, bahwa bila ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa, wakaf dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. Wakaf Ahli atau wakaf Dzurri
Disebut demikian karena wakaf ini ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik seorang atau lebih atau baik keluarga si wakif sendiri atau bukan.
2. Wakaf Khairi
Yang dimaksud dengan wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan, seperti wakaf yang diserahkan untuk kepentingan pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dan lain-lain.

D. Rukun dan Syarat Pelaksanaan Wakaf
Dalam fikih wakaf biasanya dikemukakan , bahwa suatu wakaf sah apabaila terpenuhi rukun dan syaratnya.
1. Rukun Wakaf ada 4 macam, yaitu :
a. Wakif, yaitu orang yang berwakaf.
b. Maukuf bih, yaitu barang yang diwakafkan.
c. Maukuf ‘alaih, yaitu pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf.
d. Shighat, yaitu pernyataan atau ikrar wakif seagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagaian harta bendanya.

Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, pelaksanaan wakaf harus dipenuhi 6 unsur-unsur, yaitu :
a. Wakif
b. Nadzir
c. Harta benda wakaf
d. Ikrar wakaf
e. Peruntukan harta benda wakaf
f. Jangka waktu wakaf
2. Syarat Wakaf
a. Syarat bagi Wakif, yaitu :
Orang yang mewakafkan disyaratkan harus cakap berindak dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak ini meliputi 4 ( empat ) kreteria, yaitu :
- Merdeka
- Berakal sehat
- Dewasa
- Tidak berada di bawah pengampuan.
Syarat-syarat di atas adalah dieruntukkan bagi perorangan. Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, wakif tidak sebatas perorangan tapi juga bisa organisasi dan badan badan hukum. Jika wakif berupa perorangan sayat syarat yang harus dipenuhi wakif adalah : dewasa, barakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta wakaf.
Jika wakif berupa berupa organisasi atau badan hukum, tampaknya UU menyerahkan persyaratan wakif kepada anggaran dasar organisasi yang besangkutan jika wakif berupa organisasi dan ketentuan badan hukum jika wakif berupa badan hukum.
b. Syarat Maukuf bih, yaitu :
Benda yang diwakafkan dipandang sah untuk diwakafkan apabila memenui syarat sebagai berikut :
- Harus mempunyai nilai/ berguna.
- Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.
- Benda yang diwakafkan harus diketahui ketika diakadkan.
- Benda yang diwakafkan telah menjadi milik tetap si wakif ketika diakadkan.

Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, barang yang diwakafkan hanya diberikan ketentuan yang bersifat umum yaitu bahwa harta benda tersebut harus dimiliki dan dikuasai wakif secara sah. Hanya saja mengenai jenis dan macamnya telah disebut secara limitatif.
c. Syarat Maukuf Alaih
Tujuan wakaf atau peruntukan wakaf disyaratkan dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan menurut Syari’at Islam.
d.Syarat Shighat, yaitu :
Sighat akad ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh karena wakaf merupakan salah satu bentuk tasharruf/ tabarru” maka sudah dinggap selesai dengan adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari penerima wakaf.

Sedangkan tujuan wakaf harus ditujuan untuk ibadah dan mengharapkan balasan/pahala dari Allah SWT.
Menurut Fikih lafad shighat wakaf tersebut ada 2 macam, yaitu :
- lafad yang jelas ( shahih )
seperti : ( Aku mewakafkan, aku menahan, aku mendarmakan )
- Lafad kiasan ( kinayah )
seperti : ( Aku mensedekahkan, aku melarang, aku mengekalkan )

Adapun syarat sahnya shighat ijab, baik berupa ucapan atau tulisan ialah :
- shighat harus terjadi seketika /selesai ( munjazah )
- shigat tersebut tidak diikuti dengan syarat yang bathil, yaitu syarat yang menodai dasar wakaf. Misalnya, “Saya wakafkan rumah ini untuk diri saya sendiri seumur hidup, kemudian setelah saya meninggal untu anak-anak dan cucu saya dengan syarat bahwa saya boleh menggadaikannya kapan saja saya kehendaki... atau jika saya meninggal wakaf ini menjadi harta waris bagi para ahli waris saya.
- Shighat tidak diikuti pembaytasan waktu terentu.
- Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang suidah dilakukan.

E. Persoalan-persoalan Wakaf Menurut Fukaha
1. Tentang Benda yang diwakafkan
- Menurut Malikiyyah, diperbolehkan mewakafkan segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang yang diberi wakaf, baik berupa benda tetap maupun bergerak, baik untuk selamanya atau untuk waktu tertentu.
- Menurut Syafi’iyyah, barang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya baik barang tak bergerak atau barang bergerak.
- Menurut Hanabilah, barang yang diwakafkan adalah semua barang yang sah diperjual belikan. Dengan kata lain, semua benda yang sah diperjual belikan sah pula diwakafkan.

2. Menjual Harta Wakaf
Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual harta wakaf, yaitu :
- Menurut pendapat Malikiyyah dan sebagian Syafi’iyyah tidak boleh menjual harta wakaf. Menurut pendapat ini, masjid atau peralatan masjid meskipun sudah tidak dapat digunakan tidak boleh dijual atau ditukarkan. Menjual atau menukar harta wakaf bebarti memutuskan harta si wakif. Wakif hanya akan mendapat aliran pahala wakafnya dari benda yang diwakafkannya, bukan dari dari benda lainnya penggantinya. Oleh sebab itu, batu atau tembok reruntuhan dinding masjid yang dibongkar bila tidak dapat digunakan sebagai dinding, bisa difungsikan untukyang lain buat kepentingan masjid, bukan untuk dijual.
Menurut Prof. Dr. Satria Efendi M. Zain, pendapat tersebut timbul akibat memahami hadits yang melarang menjual harta wakaf secara harfiyyah.
- Menurut pendapat Ahmad bin Hanbal, harta wakaf yang sudah tua atau hampir tidak dapat dimanfaatkan, boleh dijual dan uangnya dibelikan lagi penggantinya. Sebab, larangan menjual wakaf sebagaimana tertuang dalam hadits yang dimaksud adalah menjual harta wakaf yang masih dapat dimanfaatkan.
Menurut Prof.Dr. Satria Efendi, pendapat demikian timbul karena memahami hadits-- yang melarang menjual harta wakaf—dengan lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat substansial.
3.Menukar harta wakaf

BWI dalam menangani kasus perwakafan di Indonesia seringkali
menemukan kasus penukaran harta benda wakaf. Pada dasarnya,
penukaran harta benda wakaf adalah tidak boleh, kecuali memenuhi
beberapa syarat:
a. sesuai RUTR (Rencana Umum Tata Ruang),
b. Izin tertulis dari Menteri atas persetujuan BWI, dan
c. harta wakaf baru senilai manfaat dan nilai tukarnya. (UU No. 41/2004,
pasal, 40 dan 41).

Ketentuan ini diperjelas lagi dalam PP No.42/2006, pasal 49-51.
Izin tertulis dari Menteri hanya dapat diberikan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a.perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk
kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
b. Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar
wakaf.
c. Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung
dan mendesak.

Selain itu, izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat
diberikan jika:
a. Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan
sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
b. Nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama
dengan harta benda wakaf semula.


Sedangkan nilai dan manfaat harta benda penukar adalah
ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim
penilai yang anggotanya terdiri dari unsur:
a. Pemerintah daerah kabupaten/kota
b. Kantor pertanahan kabupaten/kota
c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota
d. Kantor Departemen Agama kabupaten/kota
e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan

Adapun nilai dan manfaat harta benda penukar tersebut dihitung
sebagai berikut:
a. Harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan
b. Harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah
untuk dikembangkan.

F. Pelaksanaan Wakaf
Sebagaimana disinggung di muka bahwa tampaknya pelaksanaan wakaf ini tidak bisa dipisahkan dengan lembaga peradilan. Hal ini wajar sebab, wakaf adalah menyangkut harta benda yang terkait dengan kepemilikan seseorang. Di samping itu, dalam pengelolaannya juga rawan dengan kesalahan atau bahkan kecurangan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.
Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia terdapat 4 sistem peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Keempat peradilan tersebut disamping semuanya merupakan peradilan negara yang sederajat akan tetapi telah ditetapkan wilayah yurisdiksi masing-masing.

PENUTUP

A.Kesimpulan

a.Pengertian Wakaf, yaitu :
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia wakaf diberi arti : tanah negara yang tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas; hadiah atau pemberian yang bersifat suci.
b. Macam-macam Wakaf
Dalam kitab-kitab fikih dikupas, bahwa bila ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa, wakaf dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. Wakaf Ahli atau wakaf Dzurri
Disebut demikian karena wakaf ini ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik seorang atau lebih atau baik keluarga si wakif sendiri atau bukan.
2 Wakaf Khairi
Yang dimaksud dengan wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan, seperti wakaf yang diserahkan untuk kepentingan pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dan lain-lain.


c. Rukun dan Syarat Pelaksanaan Wakaf
1. Rukun Wakaf ada 4 macam, yaitu :
a. Wakif, yaitu orang yang berwakaf.
b. Maukuf bih, yaitu barang yang diwakafkan.
c. Maukuf ‘alaih, yaitu pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf.
d. Shighat, yaitu pernyataan atau ikrar wakif seagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagaian harta bendanya
2. Syarat Wakaf
a. Wakif, yaitu : Orang yang mewakafkan
b. Maukuf bih, yaitu : Benda yang diwakafkan
c. Maukuf Alaih, yaitu : Tujuan wakaf
d. Shighat, yaitu : segala ucapan
d. Persoalan-persoalan Wakaf Menurut Fukaha
1. Tentang Benda yang diwakafkan
2. Menjual Harta Wakaf
3. Menukar Harta Wakaf
e. Pelaksanaan Wakaf
Sebagaimana disinggung di muka bahwa tampaknya pelaksanaan wakaf ini tidak bisa dipisahkan dengan lembaga peradilan. Hal ini wajar sebab, wakaf adalah menyangkut harta benda yang terkait dengan kepemilikan seseorang. Di samping itu, dalam pengelolaannya juga rawan dengan kesalahan atau bahkan kecurangan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.
Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia terdapat 4 sistem peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Keempat peradilan tersebut disamping semuanya merupakan peradilan negara yang sederajat akan tetapi telah ditetapkan wilayah yurisdiksi masing-masing.
waAllahu A'lam...
for every one

Tidak ada komentar:

Posting Komentar