Minggu, 23 Mei 2010

Pembuktian dalam hukum islam

PENDAHULUAN

Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara. Hubungan hukum inilah yang harus dibutktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya di bantah oleh pihak lain. Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun pemberantasan ataupun penindakan setelah terjadinya pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Dan apabila Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan dari falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan dari tindak acara pidana adalah untuk mencapai dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.
Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dahulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang di sebut sebagai pembuktian, apa saja jenis tindak pidananya pastilah melewati proses pembuktian. Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP yang masih menganut Sistem Negatif Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. hal ini didalam pembuktian pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian.
Sehingga dalam hal pembuktian adanya peranan barang bukti khususnya kasus-kasus pidana yang pada dewasa ini semakin beragam saja, sehingga perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini. Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.
Untuk membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa diperlukan alat bukti. Alat bukti apa saja yang harus dibuktikan? Untuk selanjutnya akan dibahas pada pembahasan di bawah ini.


PEMBAHASAN

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ISLAM

A.PENGERTIAN

Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “membuktikan” diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata “pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.
Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diragukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
“M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”.
Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa dimuka majelis hakim itu, masing-masing pihak yang mengajukan dalil-dalil yang yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan seksama itulah hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim.
Dalam hukum Islam, keyakinan hakim memiliki beberapa tingkatan, yaittu:
1.Yaqin : meyakinkan, yaitu sihakim benar-benar yakin (terbukti 100%).
2.Zhaan : sangkaan yang kuat, yaitu lebih condong untuk membenarkan adanya pembuktian (terbukti 75-99 %)
3.Syubhaat : ragu-ragu ( terbukti 50%)
4.Waham : sangsi (terbuti -50%)

Seorang hakim harus menghindarakan memberikan putusan apabila terdapat kondisi syubhaat atau lebih rendah. Sabda Rasulullah S.A.W :
“……sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhaat (perkara yang samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka …dan barang siapa yang jatuh melakukan perkara yang samar itu, maka ia telah jatuh ke perkara yang haram itu……” ( H.R. Bukhari dan Muslim ).
Dalam hukum pada pembuktian hanya diarahkan pada kaedah-kaedah Fiqh. Kaedah-kaedah Fiqh yang dimaksud adalah dalil-dalil yang digunakan dalam pemeriksaan perkara untuk pembebanan pembuktian terdapat dalil yang berbunyi :
“….bukti-bukti itu dibebankan kepada penguggat dan sumpah dibebankan kepada yang menolak gugatan.”


Azaz Dan Sistem Pembuktian.
Sistem artinya suatu rangkaian prosedur yang telah merupakan suatu kebulatan (kesatuan) untuk melaksanakan suatu fungsi.
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur. Sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian berhubung hakim dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh UUD.


B.Jenis-jenis Alat Bukti
Dalam Peradilan Tata Usaha Negara di kenal 5 macam alat bukti, yaitu :
• Surat atau tulisan
• Keterangan ahli
• Keterangan saksi
• Pengakuan para pihak
• Pengetahuan hakim
1) Surat atau tulisan
a. Pengertian
Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat atau tulisan adalah : “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.
b. Macam-macam alat bukti surat
Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian
Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :
1.Akta otentik
2.Akta dibawah tangan
Menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu :
1. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
2. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

Akta otentik ada dua macam, yaitu :
a. Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)

Perbedaan antara Ambtelijk Akten dan Partij Akten
No.Aspek / unsur Ambtelijk Akten Partij Akten

1.Inisiatif dari Pejabat yang bersangkutan karena jabatannya Para pihak karena kepentingannya
2.Isi akta ditentukan oleh pejabat yang bersangkutan ber-dasarkan UU ditentukan oleh para pihak
3.ditanda tangani oleh pejabat itu sendiri tanpa pihak lain para pihak dan pejabat yang bersangkutan serta saksi-saksi
4.Kekuatan bukti tidak dapat digugat kecuali dinyatakan palsu dapat digugat dengan pembuktian sebaliknya
Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai pembuktian tersebut.
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya. Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan, tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.
2) Keterangan ahli
Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN). Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.
3) Keterangan Saksi
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di dengar keterangannya,
sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai berikut :
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
b. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
d. Orang sakit ingatan.
Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.
Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu. Dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepecayaannya. Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan.
Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya, adalah :
Keterangan saksi
1. Seorang (beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami sendiri
2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis
3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu
Keterangan ahli
1. Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa
2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.
4) Pengakuan Para Pihak
“Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan”.
Menurut pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.
5) Pengetahuan hakim
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.PENUTUP
A.Kesimpulan
Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diragukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam Peradilan Tata Usaha Negara di kenal 5 macam alat bukti, yaitu :
1.Surat atau tulisan.
2.Keterangan ahli.
3.Keterangan saksi.
4.Pengakuan para pihak.
5.Pengetahuan hakim.

B.Saran

Demikianlah makalah yang kami buat mengenai Pembuktian ini dengan harapan dapat menjadi bahan diskusi bagi mahasiswa yang lain. Mungkin terdpat kesalahan didalam pembuatan makalah ini, untuk itu kami memohon kritik dan saran dosen pembimbing serta peserta diskusi. Kalau ada jarum yang patah jangan disimpan didalam peti, kalau ada kata-kata yang salah jangan disimpan didalam hati. Semoga makalah ini bermanfaat untuk peserta diskusi.

DAFTAR PUSTAKA

Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Jakarta, Penaerbit Sinar Grafiaka, 1988.
LKHT FH UI, “ASPEK PEMBUKTIAN”, www.lkhtnet.com, diakses pada tanggal 12 Maret 2009.
Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, , Jakarta, Sinar Grafika, 1986.
Moeljatno, Asas – asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar